Thursday, November 24, 2005

Munajat Pasca Ramadhan

Dini hari di Syawal pekan ketiga, pemuda yang sudah beranjak dewasa bahkan sudah layak mempunyai pasangan hidup, tengah berdiam diri, duduk dengan kaki menyila. Wajahnya yang kian merangas menandakan raut wajah penuh problematika yang ia selalu pendam disanubarinya, jarang ia ungkapkan kepada saudara-saudaranya ataupun sahabat-sahabatnya.

Paling-paling sesekali ia adukan kepada Tuhannya dengan begitu vulgar dan polos. Selebihnya, ia pendam sependam-pendamnya meskipun ia tahu bahwa Tuhannya Maha Mengetahui, walaupun baru bersitan hati. Tuhan begitu dekat.

Ada sebongkah harapan yang selalu ia kepal-kepal erat, usai menjalani segala aktivitas ibadah di bulan Ramadhan seperti ada sesuatu yang hilang. Mengering dan kian mengering.

Suara-suara pengajian dari surau-surau atau Masjid-Masjid di sekitar rumahnya yang tengah menunggu saat Shubuh tiba, mengiringi munajat-munajatnya.

“Ya Allah, kenapa Ramadhan begitu cepat berlalu padahal kami belum merasakan apa-apa di bulan Ramadhan ini ?. Apakah Kau tak mencintai kami sehingga Ramadhan berlalu begitu saja tanpa makna”.

“Ya Allah, kami belum merasa jadi kepompong Ramadhan, kami masih saja menjadi ulat yang menjijikkan, rakus dan merusak. Lalu kenapa waktu berjalan tak lambat saja waktu itu agar Ramadhan benar-benar kami regup biar kepompong Ramadhan menjadi kupu-kupu dan tinggali ulat diri yang legam itu”.

“Ya Allah, puasa kami di bulan Ramadhan itu terkadang lebih karena kewajiban bukan karena kesungguh-sungguhan akan keinginan untuk bercermin kembali, untuk meneropong ruhaniyah kami ke dalam realitas batin dan kenyataan hidup yang akan kami jalani”.

“Ya Allah, kenapa Ramadhan harus meninggalkan kami padahal kualitas puasa kami belum ada apa-apanya, kami memahami puasa hanya sebatas menahan lapar dan dahaga sehingga seolah-olah puasa itu diperuntukkan bagi orang-orang yang berkecukupan. Ilmu kami hanya sebatas pengetahuan tentang ‘menahan haus dan lapar dari shubuh sampai Maghrib’, ilmu kami tentang puasa tak pernah bertambah dan tak mau ditambah-tambah”. “Ya Allah, di hari-hari Ramadhan kami begitu cukup lahapnya menjalankan aktivitas ibadah formal ataupun nonformal untuk meraup diskon pahala sebanyak-banyaknya, wajar saja kalau kami ini sebagai muslim yang ‘pedagang’, tipe hayawani, yang melakukan aktivitas ibadah khsusnya di bulan Ramadhan demi memperoleh pahala. Profit akhirat. Kami muslim yang ‘kapitalis’. Orientasi ‘untung-rugi’ “.

“Ya Allah bahkan puasa kami jalani karena ‘takut’, tipe Rahbani, muslim yang ‘birokratis’. Kami melakukan peribadatan karena peraturan dan rasa takut, mirip dengan psikologi pegawai yang berorientasi pada kepada presensi/absensi”. Ya Allah kenapa kami tidak pernah bisa menjadi muslim yang ‘muslim’. Muslim yang Rabbani, muslim yang melakukan ibadah tidak dengan tujuan pahala, surga tau takut neraka, melainkan asli untuk Allah saja. Pokoknya mau diapakan saja, mau dijunjung ke singgasana surga atau ke kerak neraka, asal Allah yang menghendaki maka kami mau dan ikut saja”.

“Ya Allah, kami sebenarnya tahu bahwa puasa Ramadhan hanya latihan berpuasa saja, karena kami—sebenarnya—tahu bahwa kalau puasa hanya menahan haus dan lapas dari shubuh sampai Maghrib anak SD pun pasti bisa, kami memang dianjurkan oleh-Mu berpuasa di bulan Ramadahan agar kami memiliki kesanggupan, iman dan ketahanan untuk melakukan puasa yang kontekstual, puasa yang bagaimana kami bisa membatasi diri dari nafsu ingin membeli hal-hal yang kurang bermanfaat, bagaimana kami melakukan hal-hal yang paling islami saja diantara seribu kemungkinan dihadapan mata kami. Bagaimana kami tidak lagi korupsi kecil-kecilan apalagi besar, tidak lebih mementingkan diri sendiri, tidak terlibat segala hal yang tidak diperbolehkan oleh Allah dan Rasul-Nya”.

“Ya Allah, maka di Syawal ini sesungguhnya kami belum pantas beridul fitri, kami masih jelaga. Pekat. Karena kami sadar idul fitri adalah sebuah proses kembali jadi bayi, kami kembali fitrah, suci, polos dan bersih. Menjadi kupu-kupu yang kemriyek, yang tak habis-habisnya kibas-kibaskan sayapnya, bertegur sapa. Kembali dari kekalahan menuju kemenangan, bukan kemenangan atas orang, kemenangan yang sejati, kemenangan sejati bukanlah kemenangan umat Islam atas umat yang lain, karena Islam tidak dihadirkan ke bumi untuk kekuasaan satu pihak atas pihak lain, melainkan untuk merahmati seluruh alam. Kemenangan sejati adalah sanggup mengendalikan diri, menyelesaikan segala kondisi diri kepada apa yang dikehendaki Allah”.

“Ya Allah, sungguh kami sadar kami belum kembali bayi, karena bayi jika menangis karena ia jujur mau menangis. Kalau ia ngomong, tak ada jarak atau apalagi pertentangan antara kata-katanya dengan suara hati atau pikirannya. Kalau senang ia tertawa. Kalau senyum sangat tulus dan ikhlas. Tak ada yang disembunyikan, dalam arti ia jujur sejujur-jujurnya”. “Ya Allah, kemarin kami merayakan Idul Fitri sebatas kebudayaan saja karena kami lebih menekankan diri pada hura-hura, senang-senang material, pakaian baru, petasan, kembang api, kemewahan dan konsumsi-konsumsi. Kami kurang menyelam ke dalam ruhani Idul Fitri. Kedalam usaha keinsafan baru, kesadaran baru, kelahiran baru”. Laisal `idu liman labisal jadid, walakinnal `idu liman tho`atahu tazid. Idul Fitri bukan milik orang yang berpakaian baru, melainkan milik hamba Allah yang kepatuhan ilahiyahnya menyubur”.“Ya Allah, kemarin juga dan di bulan Syawal ini kami melakukan upacara maaf-memaafkan, kami menjalani ‘keharusan’ untuk berbasa-basi saling maaf-memaafkan, sementara persoalan-persoalan yang terkandung dalam konteks sebelum maaf-memaafkan itu tak pernah diselesaikan secara tuntas. Bagaimana tidak upacara ya Allah ?. misalnya saja kalau para penduduk bermaaf-maafan dengan Pak Lurah, apakah gerangan artinya ?. Apakah mereka bermaaf-maafan dalam konteks individu ataukah dalam konteks sosialitas (struktural) ?. Apakah seorang penduduk minta maaf kepada Pak Lurah karena ia pernah ngrasani kepala desanya itu ?. Ataukah karena ia pernah tidak setuju kepada keputusan-keputusan yang diambil Pak Lurah ?. Atau uang-uang pajak yang ‘sirna’ tanpa kejelasan ?. Dan kalau pak Lurah minta maaf juga kepada penduduk, apakah kemudian penduduk memaafkan segala ketidakberesan tindakannya selama ini ?. Dan kalau para penduduk tahu persis bahwa dari tahun ke tahun tindakan-tindakan semacam itu diulang-ulang juga oleh pak Lurah, maka seberapa halalkah pemaafan penduduk terhadap tindakan tak benar itu ?. Bukankah ini upacara syawalan saja atau Idul Fitri kultural ?”.

“Ya Allah, kami dalam merayakan Idul Fitri, menginginkan, berharap dan bahkan tidak akan memaafkan saudara-saudara kami, sahabat-sahabat kami, junior-junior kami, adik-adik kami, keponakan-keponakan kami dan orang-orang di bawah kami baik kultural maupun struktural agar mendatangi kami dan meminta maaf kepada kami, padahal kami lebih layak untuk dimaafkan atas kesalahan, keteledoran dan sikap-sikap ‘dzolim’ kami. Bukankah kami sama saja seperti Pak Lurah itu ?. Lucu memang kami ini”.

“Ya Allah, kamipun juga selalu dalam proses maaf-memaafkan, memulai dengan minta maaf, padahal itu berarti lebih mementingkan Idul Fitri pribadi kami. Dengan minta maaf sesungguhnya kami mendahulukan kepentingan pribadi kami dari kepentingan mereka. Seharusnya terlebih dahulu kami harus menyatakan bahwa kami telah memaafkan mereka, memerdekakan mereka, menyumbangkan proses Idul Fitri mereka. Seharusnya sebelum kami mohon kemerdekaan, kami wajib lebih dulu memerdekakannya”.

“Ya Allah, kami benar-benar belum layak berIdul Fitri, kami belum melakukan ‘perjalanan kembali’ dari kondisi tidak fitri menjadi fitri. Dari palsu menjadi sejati. Kami tidak sadar bahwa perjalanan itu sudah pasti harus melibatkan seluruh dimensi hidup yang kami punyai. Ya spiritualitasnya, ya intelektualitasnya, ya moralitasnya, ya estetikanya, ya pergaulan sosialnya, ya keterlibatan seluruh kesejarahannya. Perjalan kembali itu di tempuh dengan metode ‘puasa’ “.

“Ya Allah, jika kemudian kami tidak dalam kondisi fitri maka berarti itu kadar-kadar kepalsuan, penyelewengan atau pengingkaran yang Kau sebut asfala safilin, yang berarti Yang terendah dari yang rendah-rendah. Atau minimal kami mendekati asfala safilin”. “Kami tahu ya Allah bahwa kami seharusnya dan memang sebagai makhluk yang ahsani taqwim, karena selain kami dibekali nafsu juga dibekali akal atau kecerdasan nalar. Itulah yang membedakan kami dengan makhluk hidup lainnya”.

“Ya Allah, kami sadar bahwa sesungguhnya yang fitri adalah hamba-hamba-Mu yang mutmainnah, yang sanggup memerdekakan diri untuk tidak digendholi nafsu ego kecil, status sosial, posisi budaya, pemilikan dunia, kekuasaan yang semu dan sementara, karena hanya Engkau sajalah yang mementramkan hati. Sejati adanya”.

Azan Shubuh mulai bergema mengarungi semesta, meski dipastikan Masjid, Mushola dan Surau akan sepi seperti hari-hari kemarin, agak berbeda dengan bulan Ramadhan itu yang lumayan berisi.

Pemuda itu pun akhirnya mau tidak mau mengakhiri munajat-munajatnya, isak tangis masih menyisa diwajahnya yang menyemburat garis-garis kesungguhan untuk mendekat pada Tuhannya meskipun di relung batin terdalamnya bersemi cinta merah jambu.

Kepal-kepal tangannya yang gemas berharap dan memohon-mohon kepada-Nya sudah basah cukup kuyup akibat air matanya yang deras lewati pipi-pipinya.

Beranjaklah ia menuju Masjid dekat rumahnya. Ada luka yang memerahi jiwa. Ada kesungguhan untuk lebih bersungguh-sungguh mencintai Allah dari selain-Nya. Semoga Allah mau mengabulkannya. Semoga ia dimuliakan dan dibahagiakan di dunia dan akhirat kelak. Semoga Ramadhan tahun depan sudah ada yang "mendampingi"nya...Amin.

Tuesday, November 01, 2005

24 Jam Bersama Orang-orang Shalih di Bulan Ramadhan

Bulan Ramadhan...

Hari demi harinya adalah rentang waktu lipatan pahala yang tak ada batasnya. Jam demi jamnya adalah rangkuman kasih sayang Allah swt kepada hamba-hamba-Nya. Menit demi menitnya adalah hembusan angin surga yang begitu menyejukkan. Detik demi detiknya ada1ah kesempatan ?yang tak ternilai dibandingkan seumur hidup kita. Maka, mengagendakan aktifitas selama bulan Ramadhan menjadi sangat penting. Disiplin dan hati-hati menjalani hari-harinya harus menjadi tekad dalam hati semua hamba Allah swt yang menghendaki maghfirah dan hidayah-Nya.

Berikut ini adalah contoh bagaimana kita melewati hari demi hari yang penuh kemuliaan itu. Dengan mengikuti kebiasaan dan perkataan Rasulullah, para salafusholih dan juga para ulama yang begitu menyadari kemuliaan Ramadhan, Semoga Allah swt ?menguatkan kita untuk menjadi alumni Ramadhan yang berhasil.

Waktu Sahur hingga Subuh:

Bangunlah sebelum fajar, sekitar pukul 03.00 pagi. lni adalah waktu sepertiga malam terakhir yang istimewa. Lakukan shalat qiyamul lail beberapa rakaat. Jangan lupa bangunkan keluarga untuk shaiat ma1am. Umar bin Khaththab ra biasa mengerjakan shalat malam. Apabila tiba pertengahan malam, beliau segera mernbangunkan keluarganya untuk shalat. la berseru: "Shalat, shalat!" seraya membacakan ayat ini: "Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerja-kannya. Kami tidak meminta rizki kepadamu, Kami1ah yang memberi rizki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa." (Qs. Thoha: 132)

Banyak di antara kita yang lalai melewati waktu ini dengan istirahat dan tidur, lalu segera makan sahur. Mungkin karena menganggap ibadah shalat tarawih sudah dilakukan setelah isya. Padahal waktu-waktu sepertiga malam seharusnya tetap bisa dihidupkan lebih banyak daripada bulan-bulan lain. Pada waktu inilah, disebutkan dalam hadits Rasulullah saw, "Rabb kami turun setiap malam ke langit dunia saat sepertiga malam terakhir dan berkata: "Siapa yang berdo'a kepada-Ku, Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, Aku beri. Siapa yang memohon ampun kepada-Ku, Aku ampuni dia." (HR. /amaah)

"Barangsiapa yang menunaikan qiyamul lail pada bulan Ramadhan karena keimanan dan mengharapkan pahala, niscaya akan diampuni dosa-dosa-nya yang telah lalu." (Hk Bukhori dan Mvslim)

Dalam Al Qur'an, Allah swt berfirman: "Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan. Dan orang yang melalui malam hari dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka." (Al-Furqan : 63-64)

Setelah itu kita bisa menunaikan makan sahur yang memang disunnahkan oleh Rasulullah saw. Jangan lupa tanamkanlah niat dan ikhlaskanlah berpuasa pada siang hari nanti. LaIu bersiap untuk shalat Subuh berja-maah di masjid dan berangkatlah lebih awal. Di masjid sibukkanlah diri dengan memper-banyak istighfar. Aktifitas seperti ini disebutkan dalam Al Qur'anul Karim, "... wal mustaghfiriina bil ashaar.," Pada waktu sahur kita memang dianjurkan banyak berdo'a, karena waktu sahur termasuk waktu diijabahnya do'a seorang hamba. Setelah azan subuh dirikanlah shalat dua rokaat sebelum subuh. Kemudian tunaikanlah shalat Subuh berjamaah.

Setelah Subuh:

Berhati-hatilah dari terpaan rasa kantuk bila kita tidak terbiasa bangun lebih pagi pada hari-hari yang lain. Berusahalah untuk tidak tidur dalam ruas waktu setelah subuh hingga terbit matahari. Para salafushalih sangat tidak menyukai tidur pada waktu itu. Ibnul Qayyim Al Jauziyah dalam Madarijus Salikin menyebutkan, "Di antara tidur yang tidak disukai menurut mereka ialah tidur antara shalat subuh dan terbit matahari, karena ia merupakan waktu untuk memperoleh hasil. Bagi perjalanan ruhani, pada saat itu terdapat keistimewaan besar, sehinga seandainya mereka melakukan perjalanan (kegiatan) semalam suntuk pun, belum tentu dapat menandinginya." Jika kita sangat dibebani kantuk, bertahanlah dan bersabarlah, karena biasanya kebiasaan itu akan terbentuk setelah tiga hari kita melakukan suatu ritme yang berbeda. Selanjutnya, insya Allah kita tidak akan merasakan kantuk sedahsyat sebelumnya.

Duduklah berdzikir setelah subuh hingga matahari terbit adalah sunnah. Dari Abu Umamah Ra dikatakan bahwa Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang shalat subuh berjamaah kemudian duduk berdzikir kepada Allah sampai terbitnya matahari, kemudian berdiri dan shalat dua rakaat, maka ia akan memperoleh pahala haji dan umrah." Waktu ba'da subuh hingga matahari terbit adalah waktu yang penuh barakah yang seharusnya benar-benar dipelihara oleh setiap mukmin. Peliharalah waktu itu dengan mengisinya melalui tilawatul Quran satu juz dalam satu hari, berdzikir atau menghafal. Inilah yang dilakukan Rasulullah saw selesai menunaikan shalat Subuh, bahwa ia selalu duduk di tempat shalatnya hingga terbit matahari." (HR. Muslim)

Imam At-Tirmidzi meriwayatkan sebuah hadits dari Anas bin Malik dari Rasulullah, bahwa beliau bersabda: "Barangsiapa shalat fajar berjama'ah di masjid, kemudian tetap duduk berdzikir mengingat Allah, hingga terbit matahari lalu shalat dua rakaat (Dhuha), maka seakan-akan ia mendapat pahala haji dan umrah dengan sempurna, sempurna dan sempurna." (Dinyatakan shahih oleh Al-Albani)

Hal ini berlaku pada setiap hari, maka bagaimana pula bila dilakukan pada bulan Ramadhan. Berusahalah mendapatkan pahala yang agung ini. Dengan tidur malam yang cukup dan meneladani orang-orang shalih. Senantiasa bersungguh-sungguh dalam mencari keridhaan Allah SWT, dan selalu bertekad untuk mencapai derajat yang tinggi di dalam Surga.

Sholat Dhuha

SholaT dhuha disebutkan oleh Rasulullah, adalah shalatnya orang-orang awwabin, yakni orang-orang yang kembali kepada Allah swt. Waktunya mulai meningginya matahari sepanjang tombak. Menurut hadits shahih, shalat dhuha dilakukan paling sedikit dua rakaat dan paling banyak delapan rakaat.

Saat bekerja:

Banyak di antara kita yang tetap memiliki rutinitas mencari nafkah, belajar dan bekerja di bulan ini. Bekerjalah dengan penuh sema-ngat dan teliti. Selingilah waktu-waktu bekerja dengan berdzikir dan tidak meninggalkan shalat berjamaah di awal waktu. Teruslah berusaha menambah amal-amal sunnah yang bisa dilakukan di saat bekerja. Seperti mengajak orang lain kepada kebaikan, bersedekah, ikut berkontribusi dalam pelaksanaan kegiatan di masjid kantor pada bulan Ramadhan, dan sebagainya. Ingatlah sabda Rasulullah saw, "Seluruh amal ibadah bani Adam adalah milik-nya, dan setiap kebaikan akan dibalas 10 kali lipat hingga 700kali lipat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berkata: "Kecuali ibadah puasa, sesungguhnya ia adalah milik-Ku dan Akulah yang langsung membalasnya. Seorang yang berpuasa telah menahan diri dari syahwat, makanan dan minumannya karena Aku semata. Ada dua kegembiraan bagi orang yang berpuasa, kegembiraan saat berbuka dan kegembiraan tatkala bertemu dengan Allah. Dan sungguh bau muiut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada aroma minyak kesturi." (HR. Bukhari dan Muslim)

Pertengahan siang :

Berusahalah untuk beristirahat sekitar 15-30 menit menjelang atau sesudah waktu shalat Zuhur. Istirahat dan tidur pada rentang waktu ini disebut dengan qailulah. Rasulullah saw dan para salafushalih biasa melakukan qailulah. Imam Al Ghazali menyebutkan bahwa qailulah merupakan simpanan energi bagi mereka yang ingin melakukan qiyamul lail pada hari itu. Waktunya tidak lebih dari setengah jam. Tapi manfaatnya akan terasa saat kita bangun malam.

Waktu Asar:

Shalatlah berjamaah di masjid. Ingatlah lipatan pahala di bulan ini, minimum adalah 70 kali lipat dari kebaikan di bulan selainnya. Bila usai shalat saat bekerja sudah selesai, lakukanlah kajian-kajian keislaman, baik dengan membaca buku, diskusi, mendengarkan ceramah, mendengar kajian melalui kaset, atau lainnya. Banyak tema yang bisa kita perdalam pada kesempatan ini, misalnya tema-tema "pelembut jiwa dan hati". Informasi ini bisa diambil dari hadits-hadits Nabawi atau dari tafsir Al Qur an. Mendengarkan kajian Islam melalui kaset bisa menjadi alternatif baik karena bisa dilakukan sambil mengerjakan pekerjaan rumah yang lain. Lakukan hal ini sampai menjelang maghrib untuk bersiap dzikir sore. Segeralah berbuka kemudian shalat maghrib di masjid. Setelah shalat maghrib lanjutkan berbuka puasa ala kadarnya. Jangan terlalu kenyang.

Waktu Magrib/Berbuka Puasa:

Bersyukurlah secara lebih mendalam kehadirat Allah swt. Bahwa kita diberikan karunia untuk bisa menyelesaikan hari dengan berpuasa. Jangan lupa berdo'a dengan khusyu ketika berbuka. Ada sebuah doa yang tidak tertolak bagi orang yang berpuasa saat berbuka. Berbukalah dengan tegukan-tegukan air manis diiringi dengan kesyukuran di dalam hati. Sebaiknya kita tidak segera melanjutkan berbuka dengan makanan berat. Tundalah sebentar makanan berbuka kita, untuk menunaikan shalat magrib berjamaah dimasjid. Ingatlah kenapa kita penting mempertahankan ibadah shalat berjamaah di masjid. Usai berjamaah, lanjutkan berbuka dengan memakan makanan lebih berat. Jangan terlalu banyak, makanlah secukupnya saja.

Waktu Isya:

Segeralah pergi menunaikan shalat isya dan tarawih di masjid. Berusahalah untuk disiplin melakukan shalat isya dan tarawih di masjid, apapun keadaannya. Jika harus terha-langi oleh kegiatan yang mendesak, lakukan shalat tarawih segera setelah kita selesai menunaikan kegiatan tersebut. Setelah itu pulanglah ke rumah untuk bertemu dan ber-bincang-bincang dengan keluarga. Mungkin juga pada saat itu kita menyimak perkem-bangan berita namun tidak terlena hingga melewati jam 10 malam. Tidurlah segera, semampunya. Sebaiknya kita menyempurnakan shalat tarawih bersama imam, agar kita termasuk orang-orang yang menghidupkan Ramadhan dengan shalat malam. Rasulutlah Saw bersabda: "Siapa saja yang shalat tarawih bersama imam hingga selesai, akan ditulis baginya pahala shalat semalam suntuk." (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasai dan Ibnu Majah) Lakukanlah ini terus menerus sepanjang 20 hari pertama bulan Ramadhan. Untuk kaum Muslimah tentu saja agenda di atas bisa dilakukan di rumah. Tapi untuk shalat isya dan tarawih bisa dilakukan di masjid. Ingat juga, agar kita lebih banyak mendengarkan kajian Islam maupun tilawah Al Quran di rumah di sela-sela mengurus pekerjaan rumah.

Setelah 20 Hari Ramadhan

Rasulullah biasa beri'tikaf selama sepuluh hari setiap bulan Ramadhan. Pada tahun beliau wafat, beliau beri'tikaf selama dua puluh hari. (HR. Al-Bukhari). I'tikaf adalah ibadah yang menghimpun berbagai jenis ibadah lainnya. Saik tilawah Al-Qur'an, shalat, dzikir, do'a, tadabbur dan tain-lain. Bagi kita yang belum pernah melaksanakan i'tikaf, mungkin membayangkan I'tikaf adalah ibadah yang berat dan sulit. Bagaimana mungkin kita bisa menjalani hidup selama 10 hari di masjid? Bagaimana dengan keperluan harian kita? Bagaimana juga dengan keluarga di rumah? Padahal sebenarnya jika dijalankan dengan penuh keikhlasan dan tekad yang sungguh-sungguh, i'tikaf tidak sesulit yang dibayangkan. Allah swt akan mempermudah orang yang bersungguh-sungguh dan ikhlas menjalankan ibadah kepada-Nya.

I'tikaf sangat dianjurkan pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan sekaligus untuk meraih malam Lailatul Qadar. I'tikaf adalah mengurung diri dan mengikatnya untuk berbuat taat dan selalu mengingat Allah. Memutuskan hubungan dengan segala kesibukan-kesibukan duniawi. Mengurung hati dan jasmani hanya untuk Allah dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Tidak ada terbetik dalam hatinya sesuatu keinginan pun selain Allah dan yang mendatangkan ridha-Nya.

Ibnul Qayyim ketika menjelaskan beberapa hikmah i'tikaf berkata: "Kelurusan hati dalam perjalanannya menuju Allah sangat bergan-tung kepada kuat tidaknya hati itu berkon-sentrasi mengingat Aliah. Dan merapikan kekusutan hati serta menghadapkannya se-cara total kepada Allah. Sebab kekusutan hati hanya dapat dirapikan dengan menghadapkan secara total kepada Allah. Perlu diketahui bahwasanya makan dan minum yang berfe-bihan, kepenatan jiwa dalam berinteraksi sosial, terlalu banyak berbicara dan tidur akan menambah kekusutan hati bahkan dapat menceraiberaikannya, dan menghambat perjalanannya menuju Allah atau melemahkan langkahnya. Maka sebagai konsekuensi rahmat Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Pengasih terhadap hamba-hambaNya, Allah mensyari'atkan ibadah puasa atas mereka untuk menghilangkan kebiasaan makan dan minum secara berlebih-lebihan serta membersihkan hati dari noda-noda syahwat yang menghalangi perjalanan-nya menuju Allah. Dan mensyariatkan i'tikaf yang inti dan tujuannya ialah menambat hati untuk senan-tiasa mengingat Allah, menyendiri mengingat-Nya, menghen-tikan segala kesibukan yang berhubungan dengan makhluk, dan memfo-kuskan diri bersama Allah semata. Sehingga kegundahan dan goresan-goresan hati dapat diisi dan dipenuhi dengan dzikruflah, men-cintai dan menghadap kepada-Nya.

Pelajarilah hukum I'tikaf dan tanamkanlah tekad untuk benar-benar bisa menjalaninya selama sepuluh hari terakhir Ramadhan. Tak ada yang bisa menandingi keutamaan malam-malam I'tikaf sepanjang hidup kita. Perbanyak ibadah, seperti shalat, tilawah Al-Qur'an, membaca buku-buku agama, berdiskusi dan mengkaji masalah-masalah agama Islam dan lain-lain. Jangan terjerumus pada obrolan yang sia-sia, seperti berdebat, mencela, memaki dan lain-lain.

Kaum wanita boleh beri'tikaf di dalam mas-jid. Jika terjaga dari fitnah dan diizinkan oleh suami. Hukum-hukum yang berkaitan dengan i'tikaf bagi kaum lelaki juga berlaku bagi kaum waniita. Hanya saja i'tikaf kaum wanita otomatis batal jika mereka haidh. Dan mereka boleh melanjutkannya kembali jika sudah suci.

I'tikaf adalah sunnah Rasulullah. Maka, segeralah menghidupkan sunnah Nabi ini dan memasyarakatkannya di tengah-tengah keluarga, kerabat dekat, saudara-saudara dan teman-temanmu serta di tengah masyarakat. Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa menghidupkan salah satu sunnahku yang telah diabaikan, maka ia akan memperoleh pahala seperti orang yang mengerjakannya tanpa dikurangi dari pahala mereka sedikitpun." (HR. Tirmidzi). Di sisi lain beberapa faidah yang dapat dipetik dari sunnah i'tikaf ini adalah pembinaan jiwa dan melatihnya dalam mengerjakan ketaatan.

Mencari Malam Lailatul Qadr

Allah swt berfirman: "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur'an) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu ? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan." (Al-Qadr:1-3)

Rasulullah saw bwesabda: "Barangsiapa yang bangun dimalam Lailatul Qadr karena keimanan dan keikhlasan, niscaya akan diampuni dosanya yang telah lalu." (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Rasulullah Shallallaahu alaihi wa Sallam senantiasa mencari malam Lailatul Qadr dan memerintahkan sahabat untuk mencarinya. Beliau membangunkan keluarganya pada malam sepuluh terakhir dengan harapan mendapat malam Lailatul Qadr. Dalam Musnad Ahmad dari 'Ubadah, Rasulullah saw bersabda, "Barangsiapa yang bangun sebagai usaha untuk mendapat malam Lailatul Qadr, lalu ia benar-benar mendapatkannya, niscaya akan diampuni dosa-dosanya yang lalu dan yang akan datang."

Sejumlah salafushalih mandi dan memakai minyak wangi pada sepuluh malam terakhir untuk mencari malam Lailatul Qadr, malam yang telah dimuliakan dan diangkat derajatnya oleh Allah. Jika kita termasuk orang yang telah menyia-nyiakan umur, kejarlah segala yang terluput atas dirimu pada malam Lailatul Qadr ini. Sebab malam inilah sebagai pengganti umur, beramal pada malam ini lebih baik dari pada seribu bulan. Malam itu datang pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, tepatnya pada malam-malam ganjil, dan lebih diharapkan lagi pada malam kedua puluh tujuh. Berdasarkan riwayat Muslim dari Ubay bin Ka'ab Radhiallaahu anhu bahwa ia berkata: "Demi Allah, sungguh aku mengetahui datangnya malam itu. Yaitu pada malam yang Rasulullah memerintahkan kami untuk menghidupkannya, yaitu malam kedua puluh tujuh."

Namun begitu, hendaknya kita tidak terlalu terpengaruh dengan hitungan malam ganjil atau tidak. Lakukanlah sepenuh kemampuan dan keseriusan setiap malam-malam dari 10 terakhir bulan Ramadhan. Kerap kali orang yang hanya mencari malam-malam ganjil ternyata justru tidak bisa memaksimalkan amal-amal ibadah di malam bulan itu.

Semoga kita dikaruniakan Allah swt termasuk hamba-hamba-Nya yang mendapat rahmat-Nya karena bulan ini.

Wallahu'alam

Bulan Keimanan dan Ketakwaan


Allah SWT berfriman : " Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa ". (QS:2:183) Pelajaran yang sangat menarik dari ayat ini adalah : Pertama, bahwa yang dipanggil oleh Allah untuk melaksanakan ibadah puasa adalah orang-orang yang mempunyai kwalitas keimanan. Mengapa?

(i) Karena tanpa iman segala perbuatan apapun akan menjadi sia-sia di sisi Allah SWT. Kita simak bagaimana Allah mengumpamakan perbuatan orang-orang kafir dengan fatamorgana :" Dan orang-orang yang kafir, amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana, di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapakan susutau apapun " (QS:24:39). Di sini nampak bahwa sebuah perbuatan tanpa iman akan menjadi semata bayang-bayang, yang nampak seakan menjanjikan apa yang diharapkan, tetapi pada hakekatnya ia tiada ada artinya di sisi Allah SWT.

(ii) Bahwa sebuah tugas akan berjalan jika manusianya secara psikologis menerima tugas tersebut dengan lapang dada. Dan puasa adalah tugas yang menuntut hadirnya keimanan, sehingga ia menjadi ibadah yang benar-benar mencerminkan makna ketaatan kepada yang menugasinya. Karena itulah Allah SWT memanggil – dalam ayat tersebut – dengan ungkapan " Hai orang-orang yang beriman ".

(iii) Sebab hanya Allah-lah yang akan memberikan pahala terhadap perbuatan baik sang hamba termasuk puasa. Dan untuk itu diperlukan kartu keimanan. Karena dari kartu itulah puasa sesorang menjadi sah dan berhak mendapatkan balasan yang setimpal. Lain halnya dengan puasa orang kafir, yang tujuannya tidak kepada Allah. Maka bagaimana mungkin Allah akan memberikan pahala kepadanya. Karenanya yang Allah panggil bukan orang kafir melainkan orang-orang yang beriman.

Kedua: Makna puasa yang diwajibkan kepada orang-orang yang beriman adalah menahan diri dari lapar, dari sejak terbit fajar hingga terbenam matahari. Nampak dari segi menahan laparnya saja sangat mudah, tetapi ketika sikap puasa tersebut dikaitkan dengan keimanan, ia akan menjadi sangat bermakna. Rasulullah SAW bersabda : " Barang siapa yang berpuasa ( pada bulan Ramdlan ) dengan penuh keimanan dan pengharapan atasa ridla Allah, ia akan diampuni dosa-dosanya yang telah lewat " (HR. Bukhari-Muslim). Karenanya kamudian orang-orang yang berpuasa bagi Allah sangat mendapatkan keistimewaan :

(i) Allah akan memberikan pahala khusus bagi mereka yang berpuasa. Rasulullah bersabda dalam hadits Qudsi, Allah berfriman : " Semua amalan anak adam milknya, kecuali puasa, ia adalah milikKu, dan Akulah yang akan memberikan pahala terhadap puasa tersebut " (HR. Bukhari Muslim). (ii) Puasa ini akan menjadi pelindung dari api neraka. Dalam sebuah Rasulullah bersabda : " al shiyaamu junnatun " puasa itu merupakan penghalang dari api neraka (HR. Bukhari-Muslim). (iii) Allah SWT – sebagaimana dalam sebuah hadith – akan mengkarunia dua kebagaiaan bagi yang berupasa: Kebahagiaan ketika berbuka puasa, dan kebahagaain ketika bertemu Allah dengan puasanya (HR. Bukhari-Muslim).

(iv) Allah menydiakan pintu khusus di surga bagi mereka yang berpuasa. Namanya pintu al Rayyan. Tidak ada yang bisa masuk pintu itu kecuali orang-orang yang berpuasa (HR. Bukhari-Muslim).

Ketiga: Ayat di atas menyebutkan bahwa puasa itu juga diwajibkan kepada umat-umat terdahulu. Dari persaksian ini ada beberap hal yang bisa diungkap : (i) Agungnya ajaran puasa, di mana setiap umat yang Allah utus kepada mereka para nabi, diwajibkan berpuasa. (ii) Adanya keterkaitan antara ajaran Rasulullah SAW dengan jaran para nabi sebelumnya, yang menunjukkan bahwa sumbernya adalah satu yaitu Allah SWT. (iii) Konsekwensi dari hal tersebut adalah kaharusan mengakui krasulan Muhammad SAW. Dengan tidak membedakan antara utusan Allah yang satu dengan para utusan yang lain.

Keempat : Puasa adalah realisasi ketakwaan. Dalam memehami hakikat ketakwaan di sini ada beberapa hal yang harus digarisbawahi: (i) Ketakwaan berarti keimanan yang jujur kepada Allah. Sehingga ia benar-benar mengamalkan ajaran Allah di manapun berada. Dalam keramaian maupun dalam kesendirian. (ii) Sikap ekstra hati-hati dari hal-hal yang dilarang Allah. Ibarat sedang berjalan di atas jalan setapak yang penuh duri. Ia melangkah pelan-pelan supaya selamat dari tusukan duri. Demikian juga takwa, ia adalah sikap hati-hati dalam sekecil apapun langkahnya, takut kalau nanti langkahnya itu melanggar ajaran Allah.

(iii) Bahwa ketika ia berusaha dengan jujur menjaga puasanya, dari hal-hal yang merusaknya, padahal ia bisa membatalkannya dengan tanpa seorang pun tahu, itu adalah bukti ketakwaan kepada Allah. Dalam hal ini Rasulullah mengjarakan : jika ada seorang mengejek atau mengajak bertengkar – sementara anda sedang puasa – katakan kepadanya : "Maaf saya sedang puasa" (HR. Bukhari Muslim).

(iv) Ketika ia berusaha menjaga hatinya supaya senantiasa berdzikir kepada Allah, itu adalah takwa. (v) Ketakwaan yang demikian murni ini kemudian tercermin dalam segala dimensi hidupnya, apapun profesinya : sebagai negarawan, menteri, pedagang, pejabat, pelajar dan lain sebaginya. Sehingga seluruh prilakuknya tidak lain adalah persaksian ketaatan kepada Allah SWT.

Bila setiap orang dari penduduk sebuah negeri benar-benar mengamalkan makna ketakwaan tersebut secara hakiki, niscaya Allah akan buka jalan-jalan rejeki dan akan Allah permudah jalan keluar dari berbagai krisis yang selama ini membelenggunya. Sebuah langkah alternatif yang selama ini terabaikan.

Bulan Ramadhan : Stasiun Besar Musafir Iman

Tak pernah air melawan qudrat yang ALLAH ciptakan untuknya, mencari dataran rendah, menjadi semakin kuat ketika dibendung dan menjadi nyawa kehidupan. Lidah api selalu menjulang dan udara selalu mencari daerah minimum dari kawasan maksimum, angin pun berhembus. Edaran yang pasti pada keluarga galaksi, membuat manusia dapat membuat mesin pengukur waktu, kronometer, menulis sejarah, catatan musim dan penanggalan.

Semua bergerak dalam harmoni yang menakjubkan. Ruh pun – dengan karakternya sebagai ciptaan ALLAH – menerobos kesulitan mengaktualisasikan dirinya yang klasik saat tarikan gravitasi ‘bumi jasad’ memberatkan penjelajahannya menembus hambatan dan badai cakrawala. Kini – di bulan ini – ia jadi begitu ringan, menjelajah ‘langit ruhani’. Carilah bulan – diluar Ramadlan – saat orang dapat mengkhatamkan tilawah satu, dua, tiga sampai empat kali dalam sebulan. Carilah momentum saat orang berdiri lama di malam hari menyelesaikan sebelas atau dua puluh tiga rakaat. Carilah musim kebajikan saat orang begitu santainya melepaskan ‘ular harta’ yang membelitnya. Inilah momen yang membuka seluas-luasnya kesempatan ruh mengeksiskan dirinya dan mendekap erat-erat fitrah dan karakternya.

Marhaban ya Syahra Ramadlan Marhaban Syahra’ Shiyami Marhaban ya Syahra Ramadlan Marhaban Syahra’l Qiyami

Keqariban di Tengah Keghariban

Ahli zaman kini mungkin leluasa menertawakan muslim badui yang bersahaja, saat ia bertanya: "Ya Rasul ALLAH, dekatkah Tuhan kita, sehingga saya cukup berbisik saja atau jauhkah Ia sehingga saya harus berseru kepada-Nya?" Sebagian kita telah begitu ‘canggih’ memperkatakan Tuhan. Yang lain merasa bebas ketika ‘beban-beban orang bertuhan’ telah mereka persetankan. Bagaimana rupa hati yang Ia tiada bertahta disana? Betapa miskinnya anak-anak zaman, saat mereka saling benci dan bantai. Betapa sengsaranya mereka saat menikmati kebebasan semu; makan, minum, seks, riba, suap, syahwat, dan seterusnya. padahal mereka masih berpijak di bumi-Nya.

Betapa menyedihkan, kader yang grogi menghadapi kehidupan dan persoalan, padahal Ia yang memberinya titah untuk menuturkan pesan suci-Nya. Betapa bodohnya masinis yang telah mendapatkan peta perjalanan, kisah kawasan rawan, mesin kereta yang luar biasa tangguh dan rambu-rambu yang sempurna, lalu masih membawa keluar lokonya dari rel, untuk kemudian menangis-nangis lagi di stasiun berikut, meratapi kekeliruannya. Begitulah berulang seterusnya.

Semua ayat dari 183-187 surat Al-Baqarah bicara secara tekstual tentang puasa. Hanya satu ayat yang tidak menyentuhnya secara tekstual, namun sulit untuk mengeluarkannya dari inti hikmah puasa. "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (katakanlah): ‘Sesungguhnya Aku ini dekat…" (Qs. 2 :185).

Apa yang terjadi pada manusia dengan dada hampa kekariban ini? Mereka jadi pan-dai tampil dengan wajah tanpa dosa didepan publik, padahal beberapa meni sebelum atau sesudah tampilan ini mereka menjadi drakula dan vampir yang haus darah, bukan lagi menjadi nyamuk yang zuhud. Mereka menjadi lalat yang terjun langsung ke bangkai-bangkai, menjadi babi rakus yang tak bermalu, atau kera, tukang tiru yang rakus.

Bagaimana mereka menyelesaikan masalah antar mereka? Bakar rumah, tebang po-hon bermil-mil, hancurkan hutan demi kepentingan pribadi dan keluarga, tawuran antar warga atau anggota lembaga tinggi negara, bisniskan hukum, jual bangsa kepada bangsa asing dan rentenir dunia. Berjuta pil pembunuh mengisi kekosongan hati ini. Berapa lagi bayi lahir tanpa status bapak yang syar’i? Berapa lagi rakyat yang menjadi keledai tunggangan para politisi bandit?

Berapa banyak lagi ayat-ayat dan pesan dibacakan sementara hati tetap membatu? Berapa banyak kurban berjatuhan sementara sesama saudara saling tidak peduli?

Nuzul Qur-an di Hira, Nuzul di Hati

Ketika pertama kali Alqur-an diturunkan, ia telah menjadi petunjuk untuk seluruh ma-nusia. Ia menjadi petunjuk yang sesungguhnya bagi mereka yang menjalankan perin-tah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Ia benar-benar berguna bagi kaum beriman dan menjadi kerugian bagi kaum yang zalim. Kelak saatnya orang menyalahkan rambu-rambu, padahal tanpa rambu-rambu kehidupan menjadi kacau. Ada juga orang berfikir, malam qadar itu selesai sudah, karena ALLAH menyatakannya dengan Anzalna-hu (kami telah menurunkannya), tanpa melihat tajam-tajam pada kata tanazzalu’l Ma-laikatu wa’l Ruhu (pada malam itu turun menurunlah Malaikat dan Ruh), dengan kata kerja permanen. Bila malam adalah malam, saat matahari terbenam, siapa warga negeri yang tak menemukan malam; kafirnya dan mukminnya, fasiqnya dan shalihnya, mu-nafiqnya dan shiddiqnya, Yahudinya dan Nasraninya? Jadi apakah malam itu malam fisika yang meliput semua orang di kawasan?

Jadi ketika Ramadlan di gua Hira itu malamnya disebut malam qadar, saat turun sebuah pedoman hidup yang terbaca dan terjaga, maka betapa bahagianya setiap mukmin yang sadar dengan Nuzulnya Alqur-an di hati pada malam qadarnya masing-masing, saat jiwa menemukan jati dirinya yang selalu merindu dan mencari sang Pencipta. Yang tetap terbelenggu selama hayat dikandung badan, seperti badan pun tak dapat melampiaskan kesenangannya, karena selalu ada keterbatasan bagi setiap kesenangan. Batas makanan dan minuman yang lezat adalah kterbatasan perut dan segala yang lahir dari proses tersebut. Batas kesenangan libido ialah menghilangnya kegembiraan di puncak kesenangan. Batas nikmatnya dunia ialah ketika ajal tiba-tiba menemukan rambu-rambu: Stop!

Alqur-an dulu, baru yang lain

Bacalah Alqur-an, ruh yang menghidupkan, sinari pemahaman dengan sunnah dan perkaya wawasan dengan sirah, niscaya Islam itu terasa ni’mat, harmoni, mudah, lapang dan serasi. Alqur-an membentuk frame berfikir. Alqur-an mainstream perjuangan. Nilai-nilainya menjadi tolok ukur keadilan, kewajaran dan kesesuaian dengan karakter, fitrah dan watak manusia. Penguasaan outline-nya menghindarkan pandangan parsial juz-i. Penda’wahannya dengan kelengkapan sunnah yang sederhana, menyentuh dan aksiomatis, akan memudahkan orang memahami Islam, menjauhkan perselisihan dan menghemat energi ummat.

Betapa da’wah Alqur-an dengan madrasah tahsin, tahfiz dan tafhimnya telah membangkitkan kembali semangat keislaman, bahkan di jantung tempat kelahirannya sendiri. Ahlinya selalu menjadi pelopor jihad di garis depan, jauh sejak awal sejarah ummat ini bermula. Bila Rasulullah meminta orang menurunkan jenazah dimintanya yang paling banyak penguasaan Qur-annya. Bila me-nyusun komposisi pasukan, diletakkannya pasukan yang lebih banyak hafalannya. Bahkan di masa awal sekali, ‘unjuk rasa’ pertama digelar dengan pertanyaan ‘Siapa yang berani membacakan surat Arrahman di Ka’bah?’. Dan Ibnu Mas’ud tampil dengan berani dan tak menyesal atau jera walaupun pingsan dipukuli musyrikin kota Makkah.

Puasa: Da’wah, tarbiah, jihad dan disiplin

Orang yang tertempa makan (sahur) di saat enaknya orang tertidur lelap atau berdiri lama malam hari dalam shalat qiyam Ramadlan setelah siangnya berlapar-haus, atau menahan semua pembatal lahir-batin, sudah sepantasnya mampu mengatasi masalah-masalah da’wah dan kehidupannya, tanpa keluhan, keputusasaan atau kepanikan. Mu-suh-musuh ummat mestinya belajar untuk mengerti bahwa bayi yang dilahirkan di te-ngah badai takkan gentar menghadapi deru angin. Yang biasa menggenggam api jangan diancam dengan percikan air. Mereka ummat yang biasa menantang dinginnya air di akhir malam, lapar dan haus di terik siang.

Mereka terbiasa memburu dan menunggu target perjuangan, jauh sampai ke akhirat negeri keabadian, dengan kekuatan yakin yang melebihi kepastian fajar menyingsing. Namun bagaimana mungkin bisa mengajar orang lain, orang yang tak mampu memahami ajarannya sendiri? "Faqidu’s Syai’ la Yu’thihi" (Yang tak punya apa-apa tak akan mampu memberi apa-apa).

Wahyu pertama turun di bulan Ramadlan, pertempuran dan mubadarah (inisiatif) awal di Badar juga di bulan Ramadlan dan Futuh (kemenangan) juga di bulan Ramadlan. Ini menjadi inspirasi betapa madrasah Ramadlan telah memproduk begitu banyak alumni unggulan yang izzah-nya membentang dari masyriq ke maghrib zaman.

Bila mulutmu bergetar dengan ayat-ayat suci dan hadits-hadits, mulut mereka juga menggetarkan kalimat yang sama. Adapun hati dan bukti, itu soal besar yg menunggu jawaban serius.