Saturday, June 17, 2006

Kita adalah Da'i

Da'i. Kata itu tidak asing bagi kita semua. Julukan yang sering dilontarkan bagi mereka yang suka menyampaikan ceramah keagamaan. Namun betulkah hanya mereka yang disebut Da'i itu?

Secara bahasa Da'i adalah penyeru atau penyampai informasi. Dalam teori komunikasi Da'i itu adalah komunikator. Ia yang selalu menyampaikan pesan kepada komunikan. Secara istilah Da'i adalah seseorang yang menyampaikan pesan-pesan tentang ajakan menuju jalan Allah (amar ma'ruf nahyi munkar) kepada mustami' atau umat.

Pengertian tersebut sejalan dengan kalamullah yang tersurat dalam ayat 125 surat An-Nahl, "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik..." Dengan tersirat ayat ini menjadi landasan definisi Da'i baik secara bahasa maupun istilah.

Kewajiban Dakwah

Setiap muslim adalah Da'i. Sebab, setiap muslim berkewajiban untuk melaksanakan amar ma'ruf nahyi munkar. Hal ini senada dengan penegasan Allah dalam lantunan firman-Nya, "Kalian adalah sebaik-baiknya umat yang dilahirkan bagi manusia, kalian menyuruh (berbuat) kepada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran dan kalian beriman kepada Allah." (QS. Ali Imran [3] : 110).

Maksud utama dari ayat ini adalah menegaskan pentingnya amar ma'ruf nahyi munkar bagi umat ini. Karenanya perintah ini disebutkan lebih dahulu. Jadi syarat utama agar umat ini menjadi lebih mulia daripada umat lainnya, maka kita harus melakukan perintah tersebut. Andaikata tidak, maka tidaklah pantas bagi kita memperoleh kehormatan.

Sayang, pemahaman kewajiban dakwah pada umumnya dipahami hanya untuk orang tertentu yakni para ustadz atau kiayi. Maka pantas jika ada ungkapan seseorang yang melihat kemaksiyatan, "Itu bukan urusan saya, tapi urusan ustadz atau kiayi." Padahal merujuk ayat diatas jelas bahwa dakwah merupakan kewajiban bagi setiap orang. Hal ini ditegaskan pula dalam hadits. Dari Abu Said Al-Khudri ra berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda, "Barang siapa melihat kemunkaran dilakukan dihadapannya maka hendaklah ia mencegah dengan tangannya, jika tidak mampu cegahlah dengan lidahnya, jika tidak mampu maka hendaklah dia merasa benci di dalam hatinya, dan ini selemah-lemahnya iman." (HR. Muslim).

Selain menegaskan kewajiban dakwah, hadits itu mejelaskan pula tentang proses pelaksanaan dakwah yaitu sesuai kemampuannya.

Media Dakwah

Pemahaman yang kurang pas tentang kewajiban dakwah kita luruskan disini. Persepsi yang kurang tepat ini menilai bahwa dakwah adalah ceramahnya seseorang di atas mimbar atau di depan jemaah banyak. Tabligh akbar misalnya. Dari itu, mereka berpikir dirinya tidak wajib berdakwah karena tidak bisa seperti yang para ustadz atau kiayi lakukan. Padahal, itu hanya salah satu bentuk media dakwah saja dan dikaji sebagai level dakwah ummah.

Selama ini banyak orang memahami bahwa berdakwah adalah berceramah di depan jemaah merupakan suatu bentuk media dakwah, yakni dakwah secara langsung. Hanya saja levelnya bertingkat. Kita yang tidak mampu dakwah langsung dihadapan jemaah banyak, masih tetap menyandang hukum wajib berdakwah. Minimal kita harus mampu melaksanakan dakwah nafsiyah (diri sendiri) dan dakwah fardiyah (orang per orang). Bukankah Allah menyuruh kita untuk saling menasehati di antara kita. Sebagaimana firman-Nya, "... Dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al-'Ashr [103] : 3).

Sederhananya, lakukanlah kewajiban dakwah kepada orang-orang terdekat, terutama keluarga.

Bagi mereka yang tidak mampu dakwah secara langsung di depan jemaah, mereka masih dapat melakukan dakwah lewat media lain. Media cetak itulah bentuk kedua media dakwah yang bisa kita lakukan. Mereka yang gemar menulis, lakukanlah dakwah lewat tulisan. Esensinya sama dengan dakwah langsung yaitu menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Masukan tulisan-tulisan kita ke media cetak dengan harapan ilmu yang kita tulis diraih banyak orang.

Selain itu media dakwah adalah elektronik. TV, Film dan radio dapat kita jadikan sebagai media transformasi ajaran Islam. Namun, kemungkinan hanya sedikit mereka yang mampu melakukan dakwah dengan media elektronik.

Sebagai penutup, tanamkanlah dalam diri kita masing-masing bahwa dakwah dapat kita lakukan. Masalah media dan level dakwah kita kembalikan pada kemampuan diri. Bagi mereka yang mampu langsung, media cetak atau elektronik lakukanlah sekemampuannya. Jelas tidak ada kata untuk mengingkari kewajiban dakwah.

Wallahu 'alam bish shawab.

Saturday, June 10, 2006

Dua Sayap Dakwah

Setiap muslim seharusnya dapat berperan ganda dalam kehidupannya. Yaitu sebagai 'Abidullah (Penyembah Allah) dan Khalifatullah (Khalifatullah). Sebagai 'abidullah ia harus ikhlas menjadi penyembah Allah yang loyal, dan sebagai khalifatullah ia harus memakmurkan bumi dan memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi di atasnya.

Kedua peran tersebut tidak akan berfungsi dengan baik, bila seorang muslim tidak memiliki pribadi (akhlak) yang mulia, ruhiyah (iman) yang tinggi, dan kemampuan akal yang cerdas. Kemuliaan akhlak, kekuatan ruhiyah, dan kecerdasan akal hanya akan terjadi pada diri seorang muslim bila ia mendapatkan tarbiyah (pembinaan).

Pribadi-pribadi mulia, tangguh, cerdas, seperti halnya para sahabat Rasulullah, dapat terbentuk berkat tarbiyah dari Rasulullah yang istimrar (kontinyu). Pribadi-pribadi seperti itu tidak akan terbentuk hanya dalam beberapa jam, beberapa hari, atau beberapa minggu, tetapi sejarah membuktikan Rasulullah membina para sahabatnya sepanjang hidupnya.

Menjadi Juru Da'wah

Sudah seharusnya seorang muslim menyampaikan ilmu yang didapatkanya kepada orang lain. Karena hal ini akan bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia dan dirinya pribadi. Dakwah, menyeru kepada yang baik dan mencegah kepada kemungkaran, tidak seharusnya dipikul oleh kalangan da'i, ustadz, kyai, atau yang sejenisnya. Tetapi seharusnya menjadi tanggung jawab bersama kaum muslimin.

Menyampaikan suatu ilmu (tabligh) sangat dianjurkan Rasulullah SAW. Bahkan AllahSWT juga telah memerintahkannya kepada kita. Sebagaimana firman-Nya, "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali Imran [3] : 1-4).

Dua Sayap Da'wah

Sebagai salah satu subjek dakwah, kita harus memahami dengan benar kondisi objek dakwah. Berdakwah kepada masyarakat awam berbeda dengan berdakwah kepada orang yang lebih faham. Berdakwah kepada masyarakat yang memiliki ghirah kepada Islam biasa saja juga berbeda dibandingkan dengan berdakwah kepada para aktivitas muslim. Perbedaan objek dakwah ini, harus dijadikan bahan pertimbangan, agar dakwah yang kita sampaikan dapat diterima oleh mereka.

Karena itu, Ustadz Muhammd Ihsan Tanjung, Lc, menjelaskan bahwa secara garis besar aktivitas dakwah dibagi ke dalam dua sayap, yaitu Dakwah 'Ammah (dakwah umum) dan Dakwah Khassah (dawah khusus). Dakwah umum menurut beliau adalah kegiatan dakwah berupa tabligh (ceramah umum) atau majelis ta'lim yang biasa dipahami kebanyakan manusia sebagai pengajian.

Dakwah umum adalah sebuah bentuk dakwah yang merupakan gerbang dakwah Islam, yang dengannya terbuka pulalah gerbang-gerbang dakwah lain termasuk dakwah khusus. Peserta yang hadir bisa banyak bisa sedikit. Tetapi satu hal yang pasti ialah bahwa kehadiran para pesertanya tidak konstan, tidak disiplin dan belum ada aturan main maupun keterikatan yang lebih erat. Karena sifatnya yang masih longgar dan cair, sulit diharapkan akan terjadi sebuah perubahan yang utuh pada diri para pesertanya. Sehingga jangan heran bila kita jumpai seorang muslim rajin menghadiri berbagai kegiatan tabligh dan majelis ta'lim namun perilaku buruknya tidak kunjung ditinggalkannya. Bahkan dalam skala yang lebih luas jangan heran dakwah kian semarak di masyarakat, televisi, radio, dan media-media cetak, namun korupsi, kriminalitas, judi, narkoba dan pornografi tidak kunjung menyurut, malah sebaliknya kian mewabah.

Dakwah ammah adalah dakwah perkenalan, sedangkan dakwah khassah adalah dakwah yang lebih masuk kepada inti penjelasan tentang Islam. Dengan dakwah khusus seseorang bisa lebih mengenal Islam, bukan hanya secara kognitif (akal), tetapi juga sampai ke tingkah laku. Bukan hanya sampai kepada pemahaman tentang Islam, tetapi sampai pada praktek Islam dalam kehidupan sehari-hari sejak urusan bangun tidur sampai urusan mengelola negara.

Dakwah khusus merupakan kegiatan dakwah yang memiliki beberapa kekhususan. Ia seringkali disebut sebagai kegiatan tarbiyah (pembinaan) atau takwin (pembentukan). Disebut tarbiyah sebab ia memiliki sasaran membina muslim menjadi mu'min yang peduli terhadap kemuliaan Islam dan kaum Muslimin. Disebut pembentukan sebab dimaksudkan sebagai usaha-usaha membentuk kader-kader dakwah yang handal dan sadar akan pentingnya beramal jama'i (bekerjasama) dalam sebuah jama'ah dakwah demi tegaknya Kalimat Allah. Semua ini diusahakan perwujudannya melalui sebuah sarana bernama halaqah. Dalam dakwah khusus jumlah peserta terbatas dan dengan demikian efektivitasnya lebih bisa diharapkan.

Pembina (murabbi) dan yang dibina (mutarabbi/mad'u) disyaratkan sama-sama memiliki komitmen. Sebab di dalam kegiatan ini perubahan yang diharapkan mencakup aspek qalbiyun (hati), aqliyun (intelektual), syu'uriyun (perasaan) dan khuluqiyun (akhlak). Singkatnya, tarbiyah dimaksudkan sebagai sebuah laboratorium human resource development (pemberdayaan sumber daya manusia).

Kegiatan dakwah khusus masih belum sesemarak dakwah umum. Tetapi kegiatan dakwah seperti ini, ternyata lebih semarak di kampus-kampus. Diharapkan kaum intelektual kampus sekembalinya ke masyarakat dapat mewarnai dakwah umum dengan dakwah dakwah khusus sehingga menghasilkan perubahan yang mendasar dan menyeluruh di masyarakat secara lebih cepat.

Saturday, June 03, 2006

Hakikat Dakwah

Ir. H. Tifatul Sembiring
Presiden Partai Keadilan Sejahtera

Bagi setiap aktivis da’wah, sangat penting untuk membaca dan memahami arah perubahan. Karena, perubahan adalah hakikat dakwah. Baik trend perubahan yang saat ini sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat maupun idealita sasaran akhir yang ingin dicapai dalam gerakan da’wah Islamiyyah itu sendiri.

Kita harus punya visi, semacam imagine (mimpi) hari esok; keadaan ideal seperti apa yang ingin dicapai, yang mesti secara berani kita canangkan. Slogan ini akan memberikan semacam panduan bagi para da’i, pandangan yang jauh ke depan, membangkitkan optimisme dan motivasi bagi para pekerjanya. Sehingga mereka lebih giat dan lebih bersemangat, secara bersama-sama mengusung perubahan. Tidak sekedar asal berubah, tetapi menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya.

Target ke arah ini harus clear, mesti tergambar secara jelas dan gamblang. Seorang da’i – agar lebih efisien dan efektif - dalam da’wahnya, hendaklah menyusun perencanaan-perencanaan kerja ke depan. Sekelompok majelis ta’lim yang diisi rutin sepekan sekali, setahun jadi apa, dua tahun karakternya bagaimana, apa program-program yang dijalankan oleh jama’ahnya, baik untuk ibadah mahdhoh (ritual) maupun keterlibatan sosial, dst.

Sekelompok pemuda yang tengah ditakwin (dibentuk jadi kader) mesti dievaluasi paling tidak setahun sekali. Perubahan-perubahan apa yang telah dicapai, apa kekurangannya, faktor penyebab kegagalan dan keberhasilan. Lalu, rencana selanjutnya disusun berdasarkan hasil evaluasi tersebut. Sehingga memang dapat dipastikan bahwa perbaikan benar-benar sedang berlangsung. Inilah karakter dari sebuah da’wah yang manhaji (memiliki konsepsi), dia mengenal dari mana berangkat, ke arah mana berjalan, apa metoda dan sarana yang dapat digunakan dan dioptimalkan.

Sasaran apa yang hendak dicapai (what) dan bagaimana cara mencapai sasaran tersebut (how) harus dikontrol oleh sang aktivis. Hal ini menunjukkan bahwa da’i tersebut memang visioner. Artinya dia mampu merencanakan strateginya dan dia tahu langkah-langkah apa yang efisien dan efektif sehingga sukses sampai meraih sasaran. Semuanya ini harus tertuang dalam kalender tahunan yang memuat rencana program dan schedule da’wah yang dapat dianalisa dan dievaluasi tingkat capaiannya.

Pada tingkat yang lebih strategis, khususnya di bidang politik, kader da’wah mestilah meningkatkan kemampuan untuk melakukan perubahan-perubahan. Titik arah kemana perubahan tersebut penting digariskan, perlu digagas, perlu direncanakan dan diperjuanghkan. Itulah hakekat sebagai unsur perubah. Da’i -yang nota bene adalah orang-orang sholeh- mestilah mampu memberikan arahan yang terbaik bagi ummat ini. Bagaimana kita-kiat untuk mensukseskan perubahan tersebut. Lobbi seperti apa yang mesti dibangun. Tokoh-tokoh atau kelompok masyarakat mana yang mesti didatangi dan bersilaturrahim dengan dengan mereka, sebagai media pendekatan dan penyemaan persepsi mengenai reformasi (perbaikan).

Karena kita -PKS- memandang bahwa parlemen adalah sebagai mimbar da’wah. Artinya kita akan berupaya melakukan perubahan-perubahan secara gradual dan persuassive serta kontinyu -melalui parlemen- dengan pengajuan perubahan undang-undang dan peraturan yang ada agar lebih berpihak kepada ummat dan bangsa ini.

Seorang ustadz yang baru menjadi anggota DPRD periode 2004-2009 bercerita, pengalaman beliau bersilaturrahim dengan pejabat-pejabat daerah. Dengan beberapa anggota dewan dan tokoh masyarakat lainnya beliau berkunjung ke bupati dan berdialog tentang masalah-masalah masyarakat di kabupaten setempat. Bagaimana meningkatkan taraf hidup masyarakat, bagaimana memotivasi mereka agar lebih giat bekerja dan membimbing agar lebih produktif. Bagaimana mengatasi penyakit-penyakit sosial seperti judi, miras, pelacuran yang mulai marak, narkoba dst.

Alhasil, sang bupati merasa sangat gembira menerima silaturrahim anggota dewan tersebut. Kepala daerah itu merasa mendapatkan angin segar dan dukungan moral dari tokoh-tokoh masyarakat, meskipun pertemuan itu hanya bersifat informal. Tanpa kasak-kusuk, tanpa diliput wartawan, namun beberapa hari berikutnya sang bupati mulai lebih rajin turun ke bawah. Menertibkan warung remang-remang yang berjejer di sepanjang bantaran sungai, mengunjungi pusat-pusat kerajinan masyarakat, berkoordinasi dengan aparat keamanan dalam pemberantasan narkoba, merazia pedagang minuman keras, dst.

Skala perubahan ini akan dapat berlangsung dari tingkat pusat hingga ke seluruh daerah dan pelosok tanah air, selama seorang da’i lebih proaktif melakukan perencanaan dan bergerak sesuai dengan rencana yang telah digariskan.

Pada tingkat masyarakat skala kabupaten/kota, kita tentu ingin merubah suatu lingkungan menjadi bi’ah hasanah (lingkungan yang lebih baik). Dimana hubungan sosial antar elemen masyarakat terjalin lebih harmonis, angka kriminalitas menurun, ritual keagamaan berlangsung khidmat, angka rasio produktifitas meningkat, mobilitas penduduk berjalan lancar, peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat berlangsung terus menerus.

Dari bi’ah hasanah bagaimana menjadi bi’ah islamiyyah, bi’ah harokiyyah dst., yang pada intinya lebih baik dari keadaan sebelumnya. Situasi inipun dapat dianalogikan ke tingkat provinsi maupun pada level negara.

Dari pengalaman sang ustadz di atas, bahwa kemampuan pemanfaatan posisi dan situasi yang diciptakan terasa menjadi faktor penting untuk menjalankan agenda perubahan ke depan. Istilah istifadah zhuruf (memanfaatkan situasi dalam artian positif) mungkin lebih tepat digunakan, apalagi jika disertai dengan kemampuan penguasaan mendayagunakan segala sumberdaya dan potensi yang ada. Baik potensi yang dikuasai orang lain, apalagi potensi dan sumberdaya yang memang dikuasai sendiri. Intinya, perubahan melalui da’wah ini penting direncanakan. Wallahu a’lam bishowab.

Monday, May 22, 2006

Gairah Cinta dan Kelesuan Ukhuwah

Oleh : KH. Rahmat Abdullah

Mungkin terjadi seseorang yang dahulunya saling mencintai akhirnya saling memusuhi dan sebaliknya yang sebelumnya saling bermusuhan akhirnya saling berkasih sayang. Sangat dalam pesan yang disampaikan Kanjeng Nabi SAW :

"Cintailah saudaramu secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi orang yang kau benci. Bencilah orang yang kau benci secara proporsional, mungkin suatu masa ia akan menjadi kekasih yang kau cintai." (Hadist Sahih Riwayat Tirmidzi, Baihaqi, Thabrani, Daruquthni, Ibn Adi, Bukhari). Ini dalam kaitan interpersonal.

Dalam hubungan kejamaahan, jangan ada reserve kecuali reserve syar'I yang menggariskan aqidah "La tha'ata limakhluqin fi ma'shiati'l Khaliq". Tidak boleh ada ketaatan kepada makhluq dalam berma'siat kepada Alkhaliq. (Hadist Sahih Riwayat Bukhari, Muslim, Ahmad dan Hakim).

Doktrin ukhuwah dengan bingkai yang jelas telah menjadikan dirinya pengikat dalam senang dan susah, dalam rela dan marah. Bingkai itu adalah : "Level terendah ukhuwah (lower), jangan sampai merosot ke bawah garis rahabatus'shadr (lapang hati) dan batas tertinggi tidak (upper) tidak melampaui batas itsar (memprioritaskan saudara diatas kepentingan diri).

Gairah Cinta dan Kelesuan Ukhuwah

Karena bersaudara di jalan ALLAH telah menjadi kepentingan dakwah-Nya, maka "kerugian apapun" yang diderita saudara-saudara dalam iman dan da'wah, yang ditimbulkan oleh kelesuan, permusuhan ataupun pengkhianatan oleh mereka yang tak tahan beramal jama'i, akan mendapatkan ganti yang lebih baik. "Dan jika kamu berpaling, maka ALLAH akan gantikan dengan kaum yang lain dan mereka tidak akan jadi seperti kamu" (Qs. 47: 38).

Masing-masing kita punya pengalaman pribadi dalam da'wah ini. Ada yang sejak 20 tahun terakhir dalam kesibukan yang tinggi, tidak pernah terganggu oleh kunjungan yang berbenturan dengan jadwal da'wah atau oleh urusan yang merugikan da'wah. Mengapa ? Karena sejak awal yang bersangkutan telah tegar dalam mengutamakan kepentingan da'wah dan menepiskan kepentingan lainnya. Ini jauh dari fikiran nekad yang membuat seorang melarikan diri dari tanggungjawab keluarga.

Ada seorang ikhwah, Dia bercerita, ketika menikah langsung berpisah dari kedua orang tua masing-masing, untuk belajar hidup mandiri atau alasan lain, seperti mencari suasana yang kondusif bagi pemeliharaan iman menurut persepsi mereka waktu itu. Mereka mengontrak rumah petak sederhana. "Begitu harus berangkat (berdakwah-red) mendung menggantung di wajah pengantinku tercinta", tuturnya.

Dia tidak keluar melepas sang suami tetapi menangis sedih dan bingung, seakan doktrin da'wah telah mengelupas. Kala itu jarang da'i dan murabbi yang pulang malam apalagi petang hari, karena mereka biasa pulang pagi hari. Perangpun mulai berkecamuk dihati, seperti Juraij sang abid yang kebingungan karena kekhususan ibadah (sunnah) nya terusik panggilan ibu. "Ummi au shalati : Ibuku atau shalatku?" Sekarang yang membingungkan justru "Zauji au da'wati" : Isteriku atau da'wahku ?".

Dia mulai gundah, kalau berangkat istri cemberut, padahal sudah tahu nikah dengannya risikonya tidak dapat pulang malam tapi biasanya pulang pagi, menurut bahasa Indonesia kontemporer untuk jam diatas 24.00. Dia katakan pada istrinya : "Kita ini dipertemukan oleh Allah dan kita menemukan cinta dalam da'wah. Apa pantas sesudah da'wah mempertemukan kita lalu kita meninggalkan da'wah. Saya cinta kamu dan kamu cinta saya tapi kita pun cinta Allah". Dia pergi menerobos segala hambatan dan pulang masih menemukan sang permaisuri dengan wajah masih mendung, namun membaik setelah beberapa hari.

Beberapa tahun kemudian setelah beranak tiga atau empat, saat kelesuan menerpanya, justru istri dan anak-anaknyalah yang mengingatkan, mengapa tidak berangkat dan tetap tinggal dirumah? Sekarang ini keluarga da'wah tersebut sudah menikmati berkah da'wah.

Lain lagi kisah sepasang suami istri yang juga dari masyarakat da'wah. Kisahnya mirip, penyikapannya yang berbeda. Pengantinnya tidak siap ditinggalkan untuk da'wah. Perang bathin terjadi dan malam itu ia absent dalam pertemuan rutin. Dilakukan muhasabah terhadapnya sampai menangis-menangis, ia sudah kalah oleh penyakit "syaghalatna amwaluna waahluna": "kami telah dilalaikan oleh harta dan keluarga" (Qs. 48:11).

Ia berjanji pada dirinya : "Meskipun terjadi hujan, petir dan gempa saya harus hadir dalam tugas-tugas da'wah". Pada giliran berangkat keesokan harinya ada ketukan kecil dipintu, ternyata mertua datang. "Wah ia yang sudah memberikan putrinya kepadaku, bagaimana mungkin kutinggalkan?". Maka ia pun absen lagi dan di muhasabah lagi sampai dan menangis-nangis lagi. Saat tugas da'wah besok apapun yang terjadi, mau hujan, badai, mertua datang dll pokoknya saya harus datang. Dan begitu pula ketika harus berangkat ternyata ujian dan cobaan datang kembali dan iapun tak hadir lagi dalam tugas-tugas dakwah.

Sampai hari ini pun saya melihat jenis akh tersebut belum memiliki komitmen dan disiplin yang baik. Tidak pernah merasakan memiliki kelezatan duduk cukup lama dalam forum da'wah, yang penuh berkah. Sebenarnya adakah pertemuan-pertemuan yang lebih lezat selain pertemuan-pertemuan yang dihadiri oleh ikhwah berwajah jernih berhati ikhlas ? Saya tak tahu apakah mereka menemukan sesuatu yang lain, "inlam takun bihim falan takuna bighoirihim".

Di Titik Lemah Ujian Datang

Akhirnya dari beberapa kisah ini saya temukan jawabannya dalam satu simpul. Simpul ini ada dalam kajian tematik ayat QS Al-A'raf Ayat 163: "Tanyakan pada mereka tentang negeri di tepi pantai, ketika mereka melampaui batas aturan Allah di (tentang) hari Sabtu, ketika ikan-ikan buruan mereka datang melimpah-limpah pada Sabtu dan di hari mereka tidak ber-sabtu ikan-ikan itu tiada datang. Demikianlah kami uji mereka karena kefasikan mereka".

Secara langsung tema ayat tentang sikap dan kewajiban amar ma'ruf nahyi munkar. Tetapi ada nuansa lain yang menambah kekayaan wawasan kita. Ini terkait dengan ujian.

Waktu ujian itu tidak pernah lebih panjang daripada waktu hari belajar, tetapi banyak orang tak sabar menghadapi ujian, seakan sepanjang hari hanya ujian dan sedikit hari untuk belajar. Ujian kesabaran, keikhlasan, keteguhan dalam berda'wah lebih sedikit waktunya dibanding berbagai kenikmatan hidup yang kita rasakan.

Kalau ada sekolah yang waktu ujiannya lebih banyak dari hari belajarnya, maka sekolah tersebut dianggap sekolah gila. Selebih dari ujian-ujian kesulitan, kenikmatan itu sendiri adalah ujian. Bahkan, alhamdulillah rata-rata kader da'wah sekarang secara ekonomi semakin lebih baik. Ini tidak menafikan (sedikit) mereka yang roda ekonominya sedang dibawah.

Seorang Ustadz, ketika selesai menamatkan pendidikannya di Madinah, mengajak rekannya untuk mulai aktif berda'wah. Diajak menolak, dengan alasan ingin kaya dulu, karena orang kaya suaranya didengar orang dan kalau berda'wah, da'wahnya diterima. Beberapa tahun kemudian mereka bertemu. "Ternyata kayanya kaya begitu saja", ujar Ustadz tersebut.

Ternyata kita temukan kuncinya, "Demikianlah kami uji mereka karena sebab kefasikan mereka". Nampaknya Allah hanya menguji kita mulai pada titik yang paling lemah. Mereka malas karena pada hari Sabtu yang seharusnya dipakai ibadah justru ikan datang, pada hari Jum'at jam 11.50 datang pelanggan ke toko. Pada saat-saat jam da'wah datang orang menyibukkan mereka dengan berbagai cara.

Tapi kalau mereka bisa melewatinya dengan azam yang kuat, akan seperti kapal pemecah es. Bila diam salju itu tak akan menyingkir, tetapi ketika kapal itu maju, sang salju membiarkannya berlalu. Kita harus menerobos segala hal yang pahit seperti anak kecil yang belajar puasa, mau minum tahan dulu sampai maghrib. Kelezatan, kesenangan dan kepuasan yang tiada tara, karena sudah berhasil melewati ujian dan cobaan sepanjang hari.

Karena itu mari melihat dimana titik lemah kita. Yang lemah dalam berukhuwah, yang gerah dan segera ingin pergi meninggalkan kewajiban liqa', syuro atau jaulah. Bila mereka bersabar melawan rasa gerah itu, pertarungan mungkin hanya satu dua kali, sesudah itu tinggal hari-hari kenikmatan yang luar biasa yang tak tergantikan.

Bahkan orang-orang salih dimasa dahulu mengatakan: "Seandainya para raja dan anak-anak raja mengetahui kelezatan yang kita rasakan dalam dzikir dan majlis ilmu, niscaya mereka akan merampasnya dan memerangi kita dengan pedang". Sayang hal ini tidak bisa dirampas, melainkan diikuti, dihayati dan diperjuangkan. Berda'wah adalah nikmat, berukhuwah adalah nikmat, saling menopang dan memecahkan problematika da'wah bersama ikhwah adalah nikmat, andai saja bisa dikhayalkan oleh mereka menelantarkan modal usia yang ALLAH berikan dalam kemilau dunia yang menipu dan impian yang tak kunjung putus.

Ayat ini mengajarkan kita, ujian datang di titik lemah. Siapa yang lemah di bidang lawan jenis, seks dan segala yang sensual tidak diuji di bidang keuangan, kecuali ia juga lemah disitu. Yang lemah dibidang keuangan, jangan berani-berani memegang amanah keuangan kalau kamu lemah di uang hati-hati dengan uang. Yang lemah dalam gengsi, hobi popularitas, riya' mungkin -dimasa ujian- akan menemukan orang yang terkesan tidak menghormatinya. Yang lidahnya tajam dan berbisa mungkin diuji dengan jebakan-jebakan berkomentar sebelum tabayun (klarifikasi). Yang lemah dalam kejujuran mungkin selalu terjebak perkara yang membuat dia hanya 'selamat' dengan berdusta lagi. Dan itu arti pembesaran bencana.

Kalau saja Abdullah bin Ubay bin Salul, nominator pemimpin Madinah (dahulu Yatsrib) ikhlas menerima Islam sepenuh hati dan realistis bahwa dia tidak sekaliber Rasulullah SAW, niscaya tidak semalang itu nasibnya. Bukankah tokoh-tokoh Madinah makin tinggi dan terhormat, dunia dan akhirat dengan meletakkan diri mereka dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW ? Ternyata banyak orang yang bukan hanya bakhil dengan harta yang ALLAH berikan, tetapi juga bakhil dengan ilmu, waktu, gagasan dan kesehatan yang seluruhnya akan menjadi beban tanggungjawab dan penyesalan.

Seni Membuat Alasan

Perlu kehati-hatian -sesudah syukur- karena kita hidup di masyarakat Da'wah dengan tingkat husnuzzhan yang sangat tinggi. Mereka yang cerdas tidak akan membodohi diri mereka sendiri dengan percaya kepada sangkaan baik orang kepada dirinya, sementara sang diri sangat faham bahwa ia tak berhak atas kemuliaan itu.

Gemetar tubuh Abu Bakar RA bila disanjung. "Ya ALLAH, jadikan daku lebih baik dari yang mereka sangka, jangan hukum daku lantaran ucapan mereka dan ampuni daku karena ketidaktahuan mereka", demikian ujarnya lirih. Dimana posisi kita dari kebajikan Abu Bakr Shiddiq RA ? "Alangkah bodoh kamu, percaya kepada sangka baik orang kepadamu, padahal engkau tahu betapa diri kamu jauh dari kebaikan itu", demikian kecaman Syaikh Harits Almuhasibi dan Ibnu Athai'llah.

Diantara nikmat ALLAH ialah sitr (penutup) yang ALLAH berikan para hamba-Nya, sehingga aibnya tak dilihat orang. Namun pelamun selalu mengkhayal tanpa mau merubah diri. Demikian mereka yang memanfaatkan lapang hati komunitas da'wah tumbuh dan menjadi tua sebagai seniman maaf, "Afwan ya Akhi".

Tetapi ALLAH-lah Yang Memberi Mereka Karunia Besar

Kelengkapan Amal Jama'i tempat kita 'menyumbangkan' karya kecil kita, memberikan arti bagi eksistensi ini. Kebersamaan ini telah melahirkan kebesaran bersama. Jangan kecilkan makna kesertaan amal jama'i kita, tanpa harus mengklaim telah berjasa kepada Islam dan da'wah. "Mereka membangkit-bangkitkan (jasa) keislaman mereka kepadamu. Katakan : 'Janganlah bangkit-bangkitkan keislamanmu (sebagai sumbangan bagi kekuatan Islam, (sebaliknya hayatilah) bahwa ALLAH telah memberi kamu karunia besar dengan membimbing kamu ke arah Iman, jika kamu memang jujur" (Qs. 49;17).

ALLAH telah menggiring kita kepada keimanan dan da'wah. Ini adalah karunia besar. Sebaliknya, mereka yang merasa telah berjasa, lalu -karena ketidakpuasan yang lahir dari konsekwensi bergaul dengan manusia yang tidak maksum dan sempurna- menunggu musibah dan kegagalan, untuk kemudian mengatakan : "Nah, rasain !" Sepantasnya bayangkan, bagaimana rasanya bila saya tidak bersama kafilah kebahagiaan ini?.

Saling mendo'akan sesama ikhwah telah menjadi ciri kemuliaan pribadi mereka, terlebih doa dari jauh. Selain ikhlas dan cinta tak nampak motivasi lain bagi saudara yang berdoa itu. ALLAH akan mengabulkannya dan malaikat akan mengamininya, seraya berkata : "Untukmu pun hak seperti itu", seperti pesan Rasulullah SAW. Cukuplah kemuliaan ukhuwah dan jamaah bahwa para nabi dan syuhada iri kepada mereka yang saling mencintai, bukan didasari hubungan kekerabatan, semata-mata iman dan cinta fi'Llah.

Ya ALLAH, kami memohon cinta-Mu, cinta orang-orang yang mencintai-Mu dan cinta kepada segala yang akan mendekatkan kami kepada cinta-Mu.

Saturday, May 06, 2006

Dakwah Ini Tidak Bisa Dipikul Oleh Orang yang Manja

Dalam perjalanan ke Najed. Abu Musa Al Asyari RA meriwayatkan. “Dalam perjalanan itu kami keluar bersama Rasulullah SAW. Waktu itu kami enam orang bergantian mengendarai satu unta. Seorang naik unta secara bergantian. Sambil menunggu giliran kami harus menempuh perjalanan yang panjang, sehingga telapak kaki kami pecah-pecah dan kuku-kukunya pun copot. Waktu itu kami balut kaki kami dengan sobekan kain sehingga aku menyebut peperangan itu perang Dzatur Riqaa “Sobekan Kain”. Abü Musa Al Asyari menyebutkan hadits ini tetapi kemudian ia tidak menyukainya. Seolah-olah dia tidak suka untuk menceritakan pengalamannya.


Dalam riwayat lbnu lshaq dan Ahmad dan Jabir bin Abdullah RA ia menceritakan. “Kami berangkat bersama Rasulullah SAW pada perang Dzatur Riqaa. Pada kesempatan itu tertawanlah seorang wanita musyrikin. Setelah Rasulullah SAW berangkat pulang, suami wanita itu yang sebelumnya tidak ada di rumah baru saja datang. Kemudian lelaki itu bersumpah tidak akan berhenti mencari sebelum dapat mengalirkan darah para sahabat Muhammad SAW. Lalu lelaki itu keluar mengikuti jejak perjalanan Rasulullah SAW. Pada sebuah lorong di suatu lembah Rasulullah SAW bersama para sahabat berhenti. Kemudian beliau bersabda, “Siapakah di antara kalian yang bersedia menjaga kita malam ni?” Jabir berkata, “Maka majulah seorang dari Muhajirin dan seorang lagi dari Anshar lalu keduanya menjawab, Kami siap untuk berjaga ya Rasulullah’. Nabi Muhammad SAW berpesan Jagalah kami di mulut lorong mi.” Jabir mencenitakan waktu itu, Rasulullah SAW bensama para sahabat berhenti di lorong suatu lembah. “Ketika kedua orang sahabat itu keluar ke mulut lorong, sahabat Anshar berkata pada sahabat Muhajirin, Pukul berapa engkau inginkan aku berjaga, apakah permulaan malam ataukah akhir malam?’ Sahabat Muhajirin menjawab. Jagalah kami di awal malam.’ Kemudian sahabat Muhajirin itu berbaring dan tidur. Sedangkan sahabat Anshar melakukan shalat. Jabir berkata, datanglah lelaki musyrikin itu dan ketika mengenali sahabat Anshar dia paham bahwa sahabat itu sedang bertugas jaga. Kemudian orang ini memanahnya tepat mengenai dirinya. Lalu sahabat Anshar mencabutnya kemudian berdiri tegak melanjutkan shalatnya. Kemudian orang musyrikin itu memanahnya lagi dan tepat mengenainya lagi, lalu sahabat itu mencabut kembali anak panah itu kemudian berdiri tegak melanjutkan shalatnya. Kemudian untuk ketiga kalinya orang itu rnemanah kembali sahabat Anshar tersebut dan tepat niengenai dirinya. Lalu dicabut pula anak panah itu kemudian ia rukuk dan sujud. Setelah itu la membangunkan sahabat Muhajirin seraya berkata, ‘Duduklah karena aku telah dilukai.’ Jabir berkata, “Kemudian sahabat Muhajirin itu melompat mencari orang yang melukai sahabat Anshar itu. Ketika orang musyrikin itu melihat keduanya ia sadar bahwa dirinya telah diketahui maka ia pun melarikan diri. Ketika sahabat Muhajirin mengetahui darah yang melumuri sahabat Anshar, ia berkata, Subhanallah kenapa engkau tidak membangunkan aku dari tadi?’ Sahabat Anshar menjawab, Aku sedang membaca surat dan aku tidak ingin memutusnya. Namun, setelah orang itu berkali-kali memanahku barulah aku rukuk dan memberitahukan dirimu. Demi Allah SWT kalau bukan karena takut mengabaikan tugas penjagaan yang diperintahkan Rasulullah SAW kepadaku niscaya nafasku akan berhenti sebelum aku membatalkan shalat.”

Kesetiaan Memenuhi Seruan Da’wah, lndikasi Sikap Militan Kader Perjalanan Da’wah bukanlah perjalanan yang banyak ditaburi oleh kegemerlapan dan kesenangan melainkan ia merupakan perjalanan panjang yang penuh tantangan dan rintangan yang berat. Telah banyak kita dapati sejarah orang-orang terdahulu yang merasakan perjalanan da’wah ini. Ada yang disiksa, ada pula yang harus meninggalkan kaum kerabatnya ada pula yang diusir dari kampung halamannya. Dan sederetan kisah penjuangan lainnya yang banyak tersebar bukti dari pengorbanannya dalam jalan da’wah ini. Mereka telah merasakan dan sekaligus membuktikan cinta dan kesetiaan mereka terhadap da’wah.

Abu Musa Al Asyari dan para sahabat lainnya. Semoga Allah SWT meridhai mereka, telah merasakannya hingga kaki-kaki mereka robek dan kukunya copot. Namun, mereka arungi penjalanan itu tanpa mengeluh sedikit pun bahkan mereka malu untuk menceritakannya karena keikhlasan mereka dalam perjuangan ini. Keikhlasan membuat mereka gigih dalam pengorbanannya dan menjadi tinta emas sejarah umat da’wah ini.

Pengorbanan yang telah mereka berikan dalam perjalanan da’wah ini menjadi suri teladan bagi generasi sesudahnya. Karena kontribusi yang telah mereka sumbangkan, maka da’wah ini tumbuh bersemi dan generasi berikutnya memanen hasilnya dengan gemilang. Kawasan Islam telah tersebar ke seluruh pelosok dunia. Umat Islam telah mengalami populasi dalam jumlah besar. Semua itu merupakan karunia yang diberikan Allah SWT melalui kesungguhan dan kesetiaan para pendahulu da’wah ini. Semoga Allah meridhai mereka dan mereka pun ridha kepadaNya..

Mereka telah mengalami Iangsung apa yang difirmankan Allah SWT dalam Al Quran surat At Taubah ayat 42, berikut: “Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dari perjalanan yang tidak berapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah: Jika kami sanggup tentulah kami berangkat bersamamu”. Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta”.

Mereka juga telah melihat siapa-siapa yang dapat bertahan dalam mengarungi perjalanan yang berat itu. Hanya kesetiaanlah yang dapat tabah meniti perjalanan da’wah ini. Kesetiaan yang menjadikan pemiliknya sabar dalam menghadapi cobaan dan ujian. Menjadikan mereka optimis menghadapi kesulitan dan siap berkorban untuk meraih kesuksesan. Kesetiaan yang menghantarkan jiwa-jiwa patriotik untuk berada pada barisan terdepan dalam perjuangan ini. Kesetiaan yang membuat pelakunya berbahagia dan sangat menikmati beban hidupnya. Setia dalam kesempitan dan kesukaran demikian pula setia dalam kelapangan dan kemudahan.

Sebaliknya orang-orang yang rentan jiwanya dalam perjuangan ini tidak akan dapat bertahan lama. Mereka mengeluh atas beratnya perjalanan yang mereka tempuh. Mereka pun menolak untuk menunaikannya dengan berbagai macam alasan agar mereka diizinkan untuk tidak ikut. Mereka pun berat hati berada dalam perjuangan ini dan akhirnya berguguran satu persatu sebelum mereka sampai pada tujuan perjuangan. Penyakit wahn telah menyerang mental mereka yang rapuh sehingga mereka tidak dapat menerima kenyataan pahit sebagai resiko dari sunnah dakwah ini. Malah mereka menggugatnya lantaran anggapan mereka bahwa perjuangan dakwah tidaklah harus rnengalami kesulitan.

“Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian, dan hati rnereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya. Dan jika mereka berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu, tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka. Maka Allah melemahkan keinginan niereka. dan dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.’ (At Taubah, 91: 45-46)


Kesetiaan merupakan indikasi sikap militan kader da’wah. Sikap ini membuat mereka standby menjalankan tugas yang terpikul di pundaknya. Mereka pun dapat menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya. Bila ditugaskan sebagai prajurit terdepan dengan segala akibat yang akan dihadapinya senantiasa berada pada posnya tanpa ingin meninggalkannya sekejap pun. Atau bila ditempatkan pada bagian belakang maka ia pun akan berada pada tempatnya tanpa berpindah-pindah. Sebagaimana yang disebutkan Rasulullah SAW dalam beberapa riwayat tentang prajurit yang baik.

Abdul Fattah Abu Ismail Rahimahullah, salah seorang murid lmam Hasan Al Banna yang selalu menjalankan tugas da’wahnya tanpa keluhan sedikit pun. Dialah yang disebutkan Hasan Al Banna, orang yang sepulang dari tempatnya bekerja sudah berada di kota lain untuk memberikan ceramah kemudian berpindah tempat lagi untuk mengisi pengajian dan waktu ke waktu secara maraton. Ia selalu berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain untuk menunaikan amanah dakwah. Sesudah menunaikan tugas dengan sebaik-baiknya ia merupakan orang yang pertama kali datang ke tempatnya bekerja malah ia yang membukakan pintu gerbangnya.

Pernah ia mengalami keletihan hingga tertidur di sofa rumah Zainab Al Ghazali. Melihat kondisi tubuhnya yang lelah dan penat itu, tuan rumah membiarkan tamunya tertidur sampai bangun. Setelah menyampaikan amanah untuk Zainab Al Ghazali, Abdul Fattah Abu Ismail pamit untuk ke kota lainnya. Karena keletihan yang dialaminya, Zainab Al Ghazali memberikan ongkos untuk naik taksi. Abdul Fattah Abu lsmail mengembalikannya sambil mengatakan “Da’wah ini tidak akan dapat dipikul oleh orang-orang yang manja”. Zainab pun menjawab, “Saya sering ke mana-mana dengan taksi dan mobil-mobil mewah tapi saya tetap dapat memikul da’wah ini dan saya pun tidak menjadi orang yang manja terhadap da’wah, karena itu pakailah ongkos ini, tubuhmu letih dan engkau memerlukan istirahat sejenak.” ia pun menjawab, “Berbahagialah ibu, ibu telah berhasil menghadapi ujian Allah SWT berupa kenikmatan-kenikmatan itu. Namun, saya khawatir saya tidak dapat menghadapinya sebagaimana sikap ibu, terima kasih atas kebaikan ibu, biarlah saya naik kendaraan umum saja”
Keyakinan Pada Janji-Janji Allah SWT. Orang-orang yang telah membuktlkan kesetiaannya pada da’wah lantaran keyakinan mereka terhadap janji-janji Allah SWT. Janji yang tidak akan pernah dipungkiri sedikit pun. Allah SWT telah banyak memberikan janji-Nya pada orang-orang yang beriman yang setia pada jalan da’wah ini berupa berbagai anugenahNya. Sebagaimana yang terdapat dalam Al Qur’an:
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa) mu. Dan Allah mempunyal karunia yang besar’. (Al Anfal 81:29).

Dengan janji Allah SWT tersebut orang-orang beriman tetap bertahan mengarungi jalan da’wah ini. Dan mereka pun tahu bahwa perjuangan yang berat itu sebagai kunci untuk mendapatkannya. Semakin berat perjuangan ini semakin besar janji yang diberikan Allah SWT kepadanya. Kesetiaan yang bersemayam dalam diri mereka itulah yang membuat mereka tidak akan pernah menyalahi janji-Nya dan mereka pun tidak akan pernah mau mengubah janji kepada-Nya.

‘Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikit pun tidak merubah (janjinya).” (Al Ahzab 33: 23).

Seorang pejuang Palestina yang telah berlama-lama meninggalkan kampung halaman dan keluarganya untuk membuat mencari dukungan dunia dan dana pernah diwawancarai. Apa yang membuat Anda dapat berlama-lama meninggalkan keluarga dan kampung halaman?” Jawabnya adalah karena perjuangan, dan dengan perjuangan itu kemuliaan hidup mereka lebih berarti serta untuk masa depan bangsa dan tanah airnya. “Kalau bukan karena da’wah dan perjuangan kami pun mungkin tidak akan dapat bertahan,” lirihnya.

Kesabaran Modal Kesetiaan

Kader da’wah sangat menyakini bahwa kesabaran yang ada pada dirinya yang membuat mereka kuat menghadapi berbagai tantangan da’wah. Bila dibandingkan apa yang kita lakukan serta yang kita dapatkan sebagai resiko perjuangan di hari ini dengan keadaan onang-orang terdahulu dalam perjalanan da’wah ini belumlah seberapa. Pengorbanan kita di hari ini masih sebatas pengorbanan waktu untuk da’wah. Pengorbanan tenaga dalam amal khamniyah untuk kepentingan da’wah. Pengorbanan sebagian kecil dari harta kita yang banyak. Dan bentuk pengorbanan ecek-ecek lainnya yang telah kita lakukan. Coba lihatlah pengorbanan onang-orang terdahulu, ada yang disisir dengan sisir besi, ada yang digergaji, ada yang diikat dengan empat ekor kuda yang berlawanan arah lalu kuda itu dipukul untuk lari sekencang-kencang hingga robeklah orang itu. Ada pula yang dibakar dengan tungku yang berisi minyak panas. Mereka dapat menerima resiko karena kesabaran yang ada pada dirinya.

Kesabaran sebagai kuda-kuda pertahanan orang-orang beriman dalam meniti perjalanan ini. Bekal kesabaran mereka tidak pernah berkurang sedikit pun karena keikhlasan dan kesetiaan mereka pada Allah SWT

“Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Al lmran 3: 146).

BiIa kita memandang kehidupan generasi pilihan, kita akan temukan kisah-kisah brilian yang telah menyuburkan da’wah ini. Muncullah pertanyaan besar yang harus kita tujukan pada diri kita saat ini. Apakah kita dapat menyamai da’wah ini menjadi subur dengan perjuangan yang kita lakukan sekarang ini? Ataukah kita akan menjadi generasi yang hilang dalam sejarah da’wah ini? Ingat, da’wah ini tidak akan pernah dapat dipikul oleh orang-orang yang manja. Militansi kader merupakan kendaraan yang akan menghantarkan kepada kesuksesan da’wah ini.

Wallahu ‘alam bishowab.

Saturday, April 15, 2006

Belajar dari Pohon

Coba Anda perhatikan pohon. Kemudian perhatikan apabila Anda mendirikan tenda! Anda menariknya dari semua sisi dengan tali‑temali agar tegak dan tidak roboh atau miring. Demikianlah Anda menjumpai pohon dan tanaman, punya akar yang panjang di dalam tanah, tersebar ke segala arah agar membuatnya berdiri tegak. Semakin besar bagian atasnya, semakin panjang akar‑akarnya dari bawah menyebar ke berbagai arah. Kalau tidak demikian, bagaimana pohon‑pohon kurma yang tinggi dan bangunan pencakar langit kuat menahan serangan badai?

Lihatlah ciptaan Allah SWT mendahului karya manusia! Manusia mengerti cara mendirikan tenda dari cara Dia menciptakan pohon dan tanaman.Akar‑akarnya adalah seperti tali‑temali bagi tenda, dan dahan‑dahannya menjadi tiang.

Pohon pun Berbuah Sesuai Musimnya

Sekarang perhatikan hikmah Allah SWT menyesuaikan antara jenis‑jenis buah dengan musim keluarnya. Buah‑buah itu pas benar dengan kebutuhan manusia seperti adanya air bagi orang yang sedang kehausan. Sehingga, nafsu menerimanya dengan gembira, rindu, dan menunggu‑nunggu kedatangannya seperti menunggu kedatangan orang yang lama pergi. Kalau saja tanaman musim panas keluar pada musim dingin, tentu manusia merasa tidak suka, dan di samping itu menimbulkan mudarat bagi badan. Begitu pula kalau tumbuhan musim semi keluar pada musim gugur, atau sebaliknya, tentu tidak disenangi jiwa manusia dan tidak dirasakan kenikmatannya

Hikmah Pohon

Perhatikan pula hikmah pohon‑pohon! Anda lihat dalam setiap tahun mereka hamil dan melahirkan. Mereka selalu menjalani peristiwa kehamilan dan kelahiran ini. Apabila Tuhan mengizinkannya hamil, panas alami tersimpan di dalamnya agar terjadi kehamilan pada masa yang telah ditakdirkan. Masa ini seperti masa terbentuknya sperma. Sel‑sel melakukan proses di dalamnya, menyiapkannya untuk kehamilan. Sehingga, apabila waktu kehamilan telah tiba, air mengalirinya hingga sisi‑sisinya menjadi lentur. Air mengaliri dahan‑dahannya; panas dan kelembaban menyebar di seluruh bagiannya. Apabila waktu melahirkan telah tiba, pohon‑pohon itu mengenakan baju‑baju baru. Yakni, bunga dan daun yang indah‑indah yang dibanggakannya.

Apabila anak‑anaknya telah muncul dan kehamilannya tampak, saat itulah diketahui mana pohon yang baik dan mana yang tidak. Dan, yang memberi makanan kepada kandungan itu adalah Tuhan yang memberi makanan kepada janin di dalam perut ibunya. Dia menutupinya dengan dedaunan, melindunginya dan panas dan dingin.

Apabila kehamilan telah sempurna dan tiba saat penyapihan serta dahan dahannya menjuntai ke bawah, seakan‑akan dia menyerahkan buahnya kepadamu. Apabila Anda mendatanginya, Anda melihat seakan‑akan dahan‑dahannya menyongsong kedatanganmu dengan anak‑anaknya, menyalamimu, dan memuliakanmu dengan mereka; menyerahkan kepadamu seperti anugerah. Dia tidak menyerahkan dengan tangannya, apalagi buah‑buah surga yang rendah‑rendah yang dapat digapai oleh orang mukmin baik dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring.

Begitu pula Anda lihat pohon Raihan (tumbuhan yang berbau harum), seakan-akan menyapa kamu dengan nafasnya yang segar dan menyongsong kehadiranmu dengan baunya yang harum. Semua itu untuk menghormatimu, mengingat kebutuhanmu, dan mengutamakan kamu atas hewan‑hewan. Apakah karunia ini membuatmu lupa terhadap sang pemberi nikmat? Pantaskah kalau kamu menggunakannya dalam kemaksiatan dan hal‑hal yang dimurkai‑Nya? Bagaimana jika kamu mengingkarinya dan mengatakan itu bukan dari Dia? Sebagaimana Allah

Berfirman:

“Kamu (mengganti) rezeki (yang Allah berikan) dengan mendustakan (Allah).”

(al‑Waaqi'ah: 82)

Sudah sepantasnya orang yang berakal berkelana dengan pikirannya, merenungkan nikmat dan karunia itu, berulang‑ulang menyebutnya. Barangkali dengan begitu dia dapat mengerti tujuannya: apa hakikatnya, untuk apa diciptakan, kenapa disediakan, dan apa yang dituntut darinya terhadap nikmat‑nikmat ini. Allah SWT berfirman:

“Maka ingatlah nikmat‑nikmat Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”

(al‑A'raaf‑ 69)

Jadi, mengingat‑ingat karunia dan nikmat Allah SWT atas hamba‑hamba‑Nya adalah sebab kebahagiaan dan keberuntungan. Karena hal itu makin menambah cinta, syukur, taat, dan kesadaran akan kurangnya melaksanakan kewajiban kepada Allah SWT.

Wednesday, April 12, 2006

Belajar dari Kurma

Perhatikanlah pohon kurma itu, yang merupakan salah satu ayat Allah SWT, Anda pasti akan mendapati ayat dan keajaiban yang mencengangkan. Ketika mentakdirkan pohon kurma ada yang betina, yang membutuhkan pembuahan, Allah SWT menciptakan pejantan yang membuahi betina tersebut seperti jantan dan betina hewan. Oleh karena itu, ia amat mirip dengan manusia, khususnya orang beriman, jika dibanding pohon‑pohon lain seperti diperumpamakan oleh Nabi saw.." Persamaan itu dapat dilihat dari beberapa hal.

Pertama: kekokohan akarnya di tanah. la tidak seperti pohon yang tercerabut dengan akar‑akarnya dari tanah, tidak dapat tegak sedikit pun.

Kedua: buahnya yang enak, manis, dan banyak manfaatnya. Seperti itulah orang mukmin; perkataannya baik, amalannya baik, dan bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain.

Ketiga: hiasan dan bajunya terus dipakai tidak gugur baik pada musim panas maupun dingin. Begitu pula orang mukmin, pakaian takwa tidak pernah lepas darinya sampai bertemu Rabbnya.

Keempat: buahnya mudah dijangkau. Orang tidak perlu memanjat pohon kurma

yang pendek. Sedang pohon kurma yang tinggi mudah dipanjat dibanding memanjat pohon‑pohon tinggi yang lain. Anda lihat di pohon itu telah tersedia tangga‑tangga untuk mendaki ke atas. Mukmin juga seperti itu. Kebaikannya mudah didapat oleh orang yang menginginkannya, tidak perlu dirampas dengan tipu muslihat dan cara tak terpuji.

Kelima: buahnya termasuk buah yang paling bermanfaat di seantero dunia. Yang masih basah dimakan sebagai buah atau manisan. Yang sudah kering menjadi quut (makanan pokok), juga sebagai buah. Juga bisa dibuat menjadi cuka, manisan, campuran obat, dan minuman. Manfaatnya dan manfaat angggur amat banyak melebihi buah‑buah lain. Pohon kurma di daerah tumbuhnya (seperti: Madinah, Hijaz, dan Irak) lebih bermanfaat dan lebih utama bagi penghuni daerah itu daripada yang lain. Dan di daerah tumbuhnya, anggur lebih utama dan bermanfaat bagi penduduk daerah itu; seperti Syam, daerah pegunungan dan berhawa dingin yang tidak bisa ditumbuhi pohon kurma.

Keenam: kurma adalah pohon yang paling tabah dan tahan menghadapi serangan angin dan cuaca yang ganas. Pohon dan bangunan lain yang tinggi besar kadang dibuat condong oleh angin, kadang malah tumbang dan dahan-dahannya patah‑patah, dan kebanyakan mereka tidak tahan haus seperti pohon kurma. Begitulah, orang mukmin selalu sabar dan tabah menghadapi cobaan. Badai tidak bisa menggoyahkannya.

Ketujuh: seluruh bagian pohon kurma punya manfaat, tidak ada bagian yang tiada faedahnya. Buahnya bermanfaat. Batangnya juga bermanfaat untuk bangunan dan atap, dan sebagainya. Pelepahnya dipakai sebagai atap rumah sebagai ganti dari bambu dan untuk menutup lubang‑lubang dan celah‑celah. Daunnya dibuat keranjang, tikar, daan lain‑lain. Serabutnya juga sudah kita tahu manfaatnya. Duri kurma, dia menjadikan padanannya dari sifat orang mukmin sifat keras terhadap musuh‑musuh Allah SWT. Orang mukmin itu keras terhadap mereka seperti duri, dan kepada sesama mukmin dia seperti buah kurma yang manis dan enak.

"....Keras terhadap orang‑orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka... " (al-Fath: 29)

Kedelapan: makin tambah usianya, makin banyak manfaatnya dan makin baik buahnya. Begitu juga orang mukmin, apabila usianya panjang, kebaikannya bertambah dan amalannya meningkat.

Kesembilan: jantungnya paling baik dan manis. Ini adalah keistimewaan yang khusus dimiliki pohon kurma, tak ada pada pohon‑pohon lain. Dan, hati orang beriman seperti itu, paling baik.

Kesepuluh: manfaatnya tidak pernah berhenti secara total. Kalau salah satu manfaatnya terhalang, masih ada manfaat‑manfaatnya yang lain. Apabila buahnya tidak keluar selama satu tahun, manusia masih dapat mengambil manfaat dari daun, pelepah, atau serabutnya. Begitu pula orang mukmin tidak pernah kosong dari salah satu sifat dan perangai baik. Bila salah satu perbuatan baik tak dapat dia kerjakan, masih ada kebaikan lain yang bisa diharap darinya. Kebaikannya selalu dapat diharapkan, dan kejahatannya tak perlu dikhawatirkan. Dalam Sunan Tirmidzi disebutkan hadits yang marfu' dari Nabi saw.,

“Orang terbaik di antara kalian adalah orang yang kebaikannya diharap dan kejahatannya tak dikhawatirkan; dan yang paling jelek adalah yang kebaikannya tak diharapkan dan kejahatannya dicemaskan.”(HR Tirmidzi)

Perhatikanlah bentuk batang kurma itu. Anda mendapatinya seperti terpintal dari benang‑benang yang memanjang dan yang lain melintang, persis seperti pintalan tangan. Hikmahnya: agar keras dan erat, tidak putus‑putus ketika membawa bawaan yang berat dan tahan terhadap tiupan angin kencang, tahan lama di atap, jembatan, perabot, dan sebagainya yang terbuat darinya. Begitu pula kayu‑kayu yang lain; jika kamu perhatikan seperti tenunan. la tidak seperti batu cadas yang tidak berlubang. Anda lihat sebagiannya seakan‑akan masuk pada bagian yang lain, memanjang dan melintang seperti susunan daging. Susunan seperti itu sangat kuat dan cocok dengan kebutuhan manusia terhadapnya. Karena kalau tidak berlubang seperti batu, tentu tidak mungkin dipakai untuk alat‑alat, pintu, perabot, ranjang, keranda mayat, dan sebagainya.