Thursday, November 24, 2005

Munajat Pasca Ramadhan

Dini hari di Syawal pekan ketiga, pemuda yang sudah beranjak dewasa bahkan sudah layak mempunyai pasangan hidup, tengah berdiam diri, duduk dengan kaki menyila. Wajahnya yang kian merangas menandakan raut wajah penuh problematika yang ia selalu pendam disanubarinya, jarang ia ungkapkan kepada saudara-saudaranya ataupun sahabat-sahabatnya.

Paling-paling sesekali ia adukan kepada Tuhannya dengan begitu vulgar dan polos. Selebihnya, ia pendam sependam-pendamnya meskipun ia tahu bahwa Tuhannya Maha Mengetahui, walaupun baru bersitan hati. Tuhan begitu dekat.

Ada sebongkah harapan yang selalu ia kepal-kepal erat, usai menjalani segala aktivitas ibadah di bulan Ramadhan seperti ada sesuatu yang hilang. Mengering dan kian mengering.

Suara-suara pengajian dari surau-surau atau Masjid-Masjid di sekitar rumahnya yang tengah menunggu saat Shubuh tiba, mengiringi munajat-munajatnya.

“Ya Allah, kenapa Ramadhan begitu cepat berlalu padahal kami belum merasakan apa-apa di bulan Ramadhan ini ?. Apakah Kau tak mencintai kami sehingga Ramadhan berlalu begitu saja tanpa makna”.

“Ya Allah, kami belum merasa jadi kepompong Ramadhan, kami masih saja menjadi ulat yang menjijikkan, rakus dan merusak. Lalu kenapa waktu berjalan tak lambat saja waktu itu agar Ramadhan benar-benar kami regup biar kepompong Ramadhan menjadi kupu-kupu dan tinggali ulat diri yang legam itu”.

“Ya Allah, puasa kami di bulan Ramadhan itu terkadang lebih karena kewajiban bukan karena kesungguh-sungguhan akan keinginan untuk bercermin kembali, untuk meneropong ruhaniyah kami ke dalam realitas batin dan kenyataan hidup yang akan kami jalani”.

“Ya Allah, kenapa Ramadhan harus meninggalkan kami padahal kualitas puasa kami belum ada apa-apanya, kami memahami puasa hanya sebatas menahan lapar dan dahaga sehingga seolah-olah puasa itu diperuntukkan bagi orang-orang yang berkecukupan. Ilmu kami hanya sebatas pengetahuan tentang ‘menahan haus dan lapar dari shubuh sampai Maghrib’, ilmu kami tentang puasa tak pernah bertambah dan tak mau ditambah-tambah”. “Ya Allah, di hari-hari Ramadhan kami begitu cukup lahapnya menjalankan aktivitas ibadah formal ataupun nonformal untuk meraup diskon pahala sebanyak-banyaknya, wajar saja kalau kami ini sebagai muslim yang ‘pedagang’, tipe hayawani, yang melakukan aktivitas ibadah khsusnya di bulan Ramadhan demi memperoleh pahala. Profit akhirat. Kami muslim yang ‘kapitalis’. Orientasi ‘untung-rugi’ “.

“Ya Allah bahkan puasa kami jalani karena ‘takut’, tipe Rahbani, muslim yang ‘birokratis’. Kami melakukan peribadatan karena peraturan dan rasa takut, mirip dengan psikologi pegawai yang berorientasi pada kepada presensi/absensi”. Ya Allah kenapa kami tidak pernah bisa menjadi muslim yang ‘muslim’. Muslim yang Rabbani, muslim yang melakukan ibadah tidak dengan tujuan pahala, surga tau takut neraka, melainkan asli untuk Allah saja. Pokoknya mau diapakan saja, mau dijunjung ke singgasana surga atau ke kerak neraka, asal Allah yang menghendaki maka kami mau dan ikut saja”.

“Ya Allah, kami sebenarnya tahu bahwa puasa Ramadhan hanya latihan berpuasa saja, karena kami—sebenarnya—tahu bahwa kalau puasa hanya menahan haus dan lapas dari shubuh sampai Maghrib anak SD pun pasti bisa, kami memang dianjurkan oleh-Mu berpuasa di bulan Ramadahan agar kami memiliki kesanggupan, iman dan ketahanan untuk melakukan puasa yang kontekstual, puasa yang bagaimana kami bisa membatasi diri dari nafsu ingin membeli hal-hal yang kurang bermanfaat, bagaimana kami melakukan hal-hal yang paling islami saja diantara seribu kemungkinan dihadapan mata kami. Bagaimana kami tidak lagi korupsi kecil-kecilan apalagi besar, tidak lebih mementingkan diri sendiri, tidak terlibat segala hal yang tidak diperbolehkan oleh Allah dan Rasul-Nya”.

“Ya Allah, maka di Syawal ini sesungguhnya kami belum pantas beridul fitri, kami masih jelaga. Pekat. Karena kami sadar idul fitri adalah sebuah proses kembali jadi bayi, kami kembali fitrah, suci, polos dan bersih. Menjadi kupu-kupu yang kemriyek, yang tak habis-habisnya kibas-kibaskan sayapnya, bertegur sapa. Kembali dari kekalahan menuju kemenangan, bukan kemenangan atas orang, kemenangan yang sejati, kemenangan sejati bukanlah kemenangan umat Islam atas umat yang lain, karena Islam tidak dihadirkan ke bumi untuk kekuasaan satu pihak atas pihak lain, melainkan untuk merahmati seluruh alam. Kemenangan sejati adalah sanggup mengendalikan diri, menyelesaikan segala kondisi diri kepada apa yang dikehendaki Allah”.

“Ya Allah, sungguh kami sadar kami belum kembali bayi, karena bayi jika menangis karena ia jujur mau menangis. Kalau ia ngomong, tak ada jarak atau apalagi pertentangan antara kata-katanya dengan suara hati atau pikirannya. Kalau senang ia tertawa. Kalau senyum sangat tulus dan ikhlas. Tak ada yang disembunyikan, dalam arti ia jujur sejujur-jujurnya”. “Ya Allah, kemarin kami merayakan Idul Fitri sebatas kebudayaan saja karena kami lebih menekankan diri pada hura-hura, senang-senang material, pakaian baru, petasan, kembang api, kemewahan dan konsumsi-konsumsi. Kami kurang menyelam ke dalam ruhani Idul Fitri. Kedalam usaha keinsafan baru, kesadaran baru, kelahiran baru”. Laisal `idu liman labisal jadid, walakinnal `idu liman tho`atahu tazid. Idul Fitri bukan milik orang yang berpakaian baru, melainkan milik hamba Allah yang kepatuhan ilahiyahnya menyubur”.“Ya Allah, kemarin juga dan di bulan Syawal ini kami melakukan upacara maaf-memaafkan, kami menjalani ‘keharusan’ untuk berbasa-basi saling maaf-memaafkan, sementara persoalan-persoalan yang terkandung dalam konteks sebelum maaf-memaafkan itu tak pernah diselesaikan secara tuntas. Bagaimana tidak upacara ya Allah ?. misalnya saja kalau para penduduk bermaaf-maafan dengan Pak Lurah, apakah gerangan artinya ?. Apakah mereka bermaaf-maafan dalam konteks individu ataukah dalam konteks sosialitas (struktural) ?. Apakah seorang penduduk minta maaf kepada Pak Lurah karena ia pernah ngrasani kepala desanya itu ?. Ataukah karena ia pernah tidak setuju kepada keputusan-keputusan yang diambil Pak Lurah ?. Atau uang-uang pajak yang ‘sirna’ tanpa kejelasan ?. Dan kalau pak Lurah minta maaf juga kepada penduduk, apakah kemudian penduduk memaafkan segala ketidakberesan tindakannya selama ini ?. Dan kalau para penduduk tahu persis bahwa dari tahun ke tahun tindakan-tindakan semacam itu diulang-ulang juga oleh pak Lurah, maka seberapa halalkah pemaafan penduduk terhadap tindakan tak benar itu ?. Bukankah ini upacara syawalan saja atau Idul Fitri kultural ?”.

“Ya Allah, kami dalam merayakan Idul Fitri, menginginkan, berharap dan bahkan tidak akan memaafkan saudara-saudara kami, sahabat-sahabat kami, junior-junior kami, adik-adik kami, keponakan-keponakan kami dan orang-orang di bawah kami baik kultural maupun struktural agar mendatangi kami dan meminta maaf kepada kami, padahal kami lebih layak untuk dimaafkan atas kesalahan, keteledoran dan sikap-sikap ‘dzolim’ kami. Bukankah kami sama saja seperti Pak Lurah itu ?. Lucu memang kami ini”.

“Ya Allah, kamipun juga selalu dalam proses maaf-memaafkan, memulai dengan minta maaf, padahal itu berarti lebih mementingkan Idul Fitri pribadi kami. Dengan minta maaf sesungguhnya kami mendahulukan kepentingan pribadi kami dari kepentingan mereka. Seharusnya terlebih dahulu kami harus menyatakan bahwa kami telah memaafkan mereka, memerdekakan mereka, menyumbangkan proses Idul Fitri mereka. Seharusnya sebelum kami mohon kemerdekaan, kami wajib lebih dulu memerdekakannya”.

“Ya Allah, kami benar-benar belum layak berIdul Fitri, kami belum melakukan ‘perjalanan kembali’ dari kondisi tidak fitri menjadi fitri. Dari palsu menjadi sejati. Kami tidak sadar bahwa perjalanan itu sudah pasti harus melibatkan seluruh dimensi hidup yang kami punyai. Ya spiritualitasnya, ya intelektualitasnya, ya moralitasnya, ya estetikanya, ya pergaulan sosialnya, ya keterlibatan seluruh kesejarahannya. Perjalan kembali itu di tempuh dengan metode ‘puasa’ “.

“Ya Allah, jika kemudian kami tidak dalam kondisi fitri maka berarti itu kadar-kadar kepalsuan, penyelewengan atau pengingkaran yang Kau sebut asfala safilin, yang berarti Yang terendah dari yang rendah-rendah. Atau minimal kami mendekati asfala safilin”. “Kami tahu ya Allah bahwa kami seharusnya dan memang sebagai makhluk yang ahsani taqwim, karena selain kami dibekali nafsu juga dibekali akal atau kecerdasan nalar. Itulah yang membedakan kami dengan makhluk hidup lainnya”.

“Ya Allah, kami sadar bahwa sesungguhnya yang fitri adalah hamba-hamba-Mu yang mutmainnah, yang sanggup memerdekakan diri untuk tidak digendholi nafsu ego kecil, status sosial, posisi budaya, pemilikan dunia, kekuasaan yang semu dan sementara, karena hanya Engkau sajalah yang mementramkan hati. Sejati adanya”.

Azan Shubuh mulai bergema mengarungi semesta, meski dipastikan Masjid, Mushola dan Surau akan sepi seperti hari-hari kemarin, agak berbeda dengan bulan Ramadhan itu yang lumayan berisi.

Pemuda itu pun akhirnya mau tidak mau mengakhiri munajat-munajatnya, isak tangis masih menyisa diwajahnya yang menyemburat garis-garis kesungguhan untuk mendekat pada Tuhannya meskipun di relung batin terdalamnya bersemi cinta merah jambu.

Kepal-kepal tangannya yang gemas berharap dan memohon-mohon kepada-Nya sudah basah cukup kuyup akibat air matanya yang deras lewati pipi-pipinya.

Beranjaklah ia menuju Masjid dekat rumahnya. Ada luka yang memerahi jiwa. Ada kesungguhan untuk lebih bersungguh-sungguh mencintai Allah dari selain-Nya. Semoga Allah mau mengabulkannya. Semoga ia dimuliakan dan dibahagiakan di dunia dan akhirat kelak. Semoga Ramadhan tahun depan sudah ada yang "mendampingi"nya...Amin.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home