Saturday, June 03, 2006

Hakikat Dakwah

Ir. H. Tifatul Sembiring
Presiden Partai Keadilan Sejahtera

Bagi setiap aktivis da’wah, sangat penting untuk membaca dan memahami arah perubahan. Karena, perubahan adalah hakikat dakwah. Baik trend perubahan yang saat ini sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat maupun idealita sasaran akhir yang ingin dicapai dalam gerakan da’wah Islamiyyah itu sendiri.

Kita harus punya visi, semacam imagine (mimpi) hari esok; keadaan ideal seperti apa yang ingin dicapai, yang mesti secara berani kita canangkan. Slogan ini akan memberikan semacam panduan bagi para da’i, pandangan yang jauh ke depan, membangkitkan optimisme dan motivasi bagi para pekerjanya. Sehingga mereka lebih giat dan lebih bersemangat, secara bersama-sama mengusung perubahan. Tidak sekedar asal berubah, tetapi menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya.

Target ke arah ini harus clear, mesti tergambar secara jelas dan gamblang. Seorang da’i – agar lebih efisien dan efektif - dalam da’wahnya, hendaklah menyusun perencanaan-perencanaan kerja ke depan. Sekelompok majelis ta’lim yang diisi rutin sepekan sekali, setahun jadi apa, dua tahun karakternya bagaimana, apa program-program yang dijalankan oleh jama’ahnya, baik untuk ibadah mahdhoh (ritual) maupun keterlibatan sosial, dst.

Sekelompok pemuda yang tengah ditakwin (dibentuk jadi kader) mesti dievaluasi paling tidak setahun sekali. Perubahan-perubahan apa yang telah dicapai, apa kekurangannya, faktor penyebab kegagalan dan keberhasilan. Lalu, rencana selanjutnya disusun berdasarkan hasil evaluasi tersebut. Sehingga memang dapat dipastikan bahwa perbaikan benar-benar sedang berlangsung. Inilah karakter dari sebuah da’wah yang manhaji (memiliki konsepsi), dia mengenal dari mana berangkat, ke arah mana berjalan, apa metoda dan sarana yang dapat digunakan dan dioptimalkan.

Sasaran apa yang hendak dicapai (what) dan bagaimana cara mencapai sasaran tersebut (how) harus dikontrol oleh sang aktivis. Hal ini menunjukkan bahwa da’i tersebut memang visioner. Artinya dia mampu merencanakan strateginya dan dia tahu langkah-langkah apa yang efisien dan efektif sehingga sukses sampai meraih sasaran. Semuanya ini harus tertuang dalam kalender tahunan yang memuat rencana program dan schedule da’wah yang dapat dianalisa dan dievaluasi tingkat capaiannya.

Pada tingkat yang lebih strategis, khususnya di bidang politik, kader da’wah mestilah meningkatkan kemampuan untuk melakukan perubahan-perubahan. Titik arah kemana perubahan tersebut penting digariskan, perlu digagas, perlu direncanakan dan diperjuanghkan. Itulah hakekat sebagai unsur perubah. Da’i -yang nota bene adalah orang-orang sholeh- mestilah mampu memberikan arahan yang terbaik bagi ummat ini. Bagaimana kita-kiat untuk mensukseskan perubahan tersebut. Lobbi seperti apa yang mesti dibangun. Tokoh-tokoh atau kelompok masyarakat mana yang mesti didatangi dan bersilaturrahim dengan dengan mereka, sebagai media pendekatan dan penyemaan persepsi mengenai reformasi (perbaikan).

Karena kita -PKS- memandang bahwa parlemen adalah sebagai mimbar da’wah. Artinya kita akan berupaya melakukan perubahan-perubahan secara gradual dan persuassive serta kontinyu -melalui parlemen- dengan pengajuan perubahan undang-undang dan peraturan yang ada agar lebih berpihak kepada ummat dan bangsa ini.

Seorang ustadz yang baru menjadi anggota DPRD periode 2004-2009 bercerita, pengalaman beliau bersilaturrahim dengan pejabat-pejabat daerah. Dengan beberapa anggota dewan dan tokoh masyarakat lainnya beliau berkunjung ke bupati dan berdialog tentang masalah-masalah masyarakat di kabupaten setempat. Bagaimana meningkatkan taraf hidup masyarakat, bagaimana memotivasi mereka agar lebih giat bekerja dan membimbing agar lebih produktif. Bagaimana mengatasi penyakit-penyakit sosial seperti judi, miras, pelacuran yang mulai marak, narkoba dst.

Alhasil, sang bupati merasa sangat gembira menerima silaturrahim anggota dewan tersebut. Kepala daerah itu merasa mendapatkan angin segar dan dukungan moral dari tokoh-tokoh masyarakat, meskipun pertemuan itu hanya bersifat informal. Tanpa kasak-kusuk, tanpa diliput wartawan, namun beberapa hari berikutnya sang bupati mulai lebih rajin turun ke bawah. Menertibkan warung remang-remang yang berjejer di sepanjang bantaran sungai, mengunjungi pusat-pusat kerajinan masyarakat, berkoordinasi dengan aparat keamanan dalam pemberantasan narkoba, merazia pedagang minuman keras, dst.

Skala perubahan ini akan dapat berlangsung dari tingkat pusat hingga ke seluruh daerah dan pelosok tanah air, selama seorang da’i lebih proaktif melakukan perencanaan dan bergerak sesuai dengan rencana yang telah digariskan.

Pada tingkat masyarakat skala kabupaten/kota, kita tentu ingin merubah suatu lingkungan menjadi bi’ah hasanah (lingkungan yang lebih baik). Dimana hubungan sosial antar elemen masyarakat terjalin lebih harmonis, angka kriminalitas menurun, ritual keagamaan berlangsung khidmat, angka rasio produktifitas meningkat, mobilitas penduduk berjalan lancar, peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat berlangsung terus menerus.

Dari bi’ah hasanah bagaimana menjadi bi’ah islamiyyah, bi’ah harokiyyah dst., yang pada intinya lebih baik dari keadaan sebelumnya. Situasi inipun dapat dianalogikan ke tingkat provinsi maupun pada level negara.

Dari pengalaman sang ustadz di atas, bahwa kemampuan pemanfaatan posisi dan situasi yang diciptakan terasa menjadi faktor penting untuk menjalankan agenda perubahan ke depan. Istilah istifadah zhuruf (memanfaatkan situasi dalam artian positif) mungkin lebih tepat digunakan, apalagi jika disertai dengan kemampuan penguasaan mendayagunakan segala sumberdaya dan potensi yang ada. Baik potensi yang dikuasai orang lain, apalagi potensi dan sumberdaya yang memang dikuasai sendiri. Intinya, perubahan melalui da’wah ini penting direncanakan. Wallahu a’lam bishowab.

1 Comments:

At 4:31 PM, Blogger Tepisan Rasa said...

Ternyata saya komen pertama

Hmmm... sudah kuduga

 

Post a Comment

<< Home