Saturday, June 17, 2006

Kita adalah Da'i

Da'i. Kata itu tidak asing bagi kita semua. Julukan yang sering dilontarkan bagi mereka yang suka menyampaikan ceramah keagamaan. Namun betulkah hanya mereka yang disebut Da'i itu?

Secara bahasa Da'i adalah penyeru atau penyampai informasi. Dalam teori komunikasi Da'i itu adalah komunikator. Ia yang selalu menyampaikan pesan kepada komunikan. Secara istilah Da'i adalah seseorang yang menyampaikan pesan-pesan tentang ajakan menuju jalan Allah (amar ma'ruf nahyi munkar) kepada mustami' atau umat.

Pengertian tersebut sejalan dengan kalamullah yang tersurat dalam ayat 125 surat An-Nahl, "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik..." Dengan tersirat ayat ini menjadi landasan definisi Da'i baik secara bahasa maupun istilah.

Kewajiban Dakwah

Setiap muslim adalah Da'i. Sebab, setiap muslim berkewajiban untuk melaksanakan amar ma'ruf nahyi munkar. Hal ini senada dengan penegasan Allah dalam lantunan firman-Nya, "Kalian adalah sebaik-baiknya umat yang dilahirkan bagi manusia, kalian menyuruh (berbuat) kepada kebaikan dan mencegah dari kemunkaran dan kalian beriman kepada Allah." (QS. Ali Imran [3] : 110).

Maksud utama dari ayat ini adalah menegaskan pentingnya amar ma'ruf nahyi munkar bagi umat ini. Karenanya perintah ini disebutkan lebih dahulu. Jadi syarat utama agar umat ini menjadi lebih mulia daripada umat lainnya, maka kita harus melakukan perintah tersebut. Andaikata tidak, maka tidaklah pantas bagi kita memperoleh kehormatan.

Sayang, pemahaman kewajiban dakwah pada umumnya dipahami hanya untuk orang tertentu yakni para ustadz atau kiayi. Maka pantas jika ada ungkapan seseorang yang melihat kemaksiyatan, "Itu bukan urusan saya, tapi urusan ustadz atau kiayi." Padahal merujuk ayat diatas jelas bahwa dakwah merupakan kewajiban bagi setiap orang. Hal ini ditegaskan pula dalam hadits. Dari Abu Said Al-Khudri ra berkata, aku mendengar Rasulullah bersabda, "Barang siapa melihat kemunkaran dilakukan dihadapannya maka hendaklah ia mencegah dengan tangannya, jika tidak mampu cegahlah dengan lidahnya, jika tidak mampu maka hendaklah dia merasa benci di dalam hatinya, dan ini selemah-lemahnya iman." (HR. Muslim).

Selain menegaskan kewajiban dakwah, hadits itu mejelaskan pula tentang proses pelaksanaan dakwah yaitu sesuai kemampuannya.

Media Dakwah

Pemahaman yang kurang pas tentang kewajiban dakwah kita luruskan disini. Persepsi yang kurang tepat ini menilai bahwa dakwah adalah ceramahnya seseorang di atas mimbar atau di depan jemaah banyak. Tabligh akbar misalnya. Dari itu, mereka berpikir dirinya tidak wajib berdakwah karena tidak bisa seperti yang para ustadz atau kiayi lakukan. Padahal, itu hanya salah satu bentuk media dakwah saja dan dikaji sebagai level dakwah ummah.

Selama ini banyak orang memahami bahwa berdakwah adalah berceramah di depan jemaah merupakan suatu bentuk media dakwah, yakni dakwah secara langsung. Hanya saja levelnya bertingkat. Kita yang tidak mampu dakwah langsung dihadapan jemaah banyak, masih tetap menyandang hukum wajib berdakwah. Minimal kita harus mampu melaksanakan dakwah nafsiyah (diri sendiri) dan dakwah fardiyah (orang per orang). Bukankah Allah menyuruh kita untuk saling menasehati di antara kita. Sebagaimana firman-Nya, "... Dan nasihat-menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al-'Ashr [103] : 3).

Sederhananya, lakukanlah kewajiban dakwah kepada orang-orang terdekat, terutama keluarga.

Bagi mereka yang tidak mampu dakwah secara langsung di depan jemaah, mereka masih dapat melakukan dakwah lewat media lain. Media cetak itulah bentuk kedua media dakwah yang bisa kita lakukan. Mereka yang gemar menulis, lakukanlah dakwah lewat tulisan. Esensinya sama dengan dakwah langsung yaitu menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Masukan tulisan-tulisan kita ke media cetak dengan harapan ilmu yang kita tulis diraih banyak orang.

Selain itu media dakwah adalah elektronik. TV, Film dan radio dapat kita jadikan sebagai media transformasi ajaran Islam. Namun, kemungkinan hanya sedikit mereka yang mampu melakukan dakwah dengan media elektronik.

Sebagai penutup, tanamkanlah dalam diri kita masing-masing bahwa dakwah dapat kita lakukan. Masalah media dan level dakwah kita kembalikan pada kemampuan diri. Bagi mereka yang mampu langsung, media cetak atau elektronik lakukanlah sekemampuannya. Jelas tidak ada kata untuk mengingkari kewajiban dakwah.

Wallahu 'alam bish shawab.

Saturday, June 10, 2006

Dua Sayap Dakwah

Setiap muslim seharusnya dapat berperan ganda dalam kehidupannya. Yaitu sebagai 'Abidullah (Penyembah Allah) dan Khalifatullah (Khalifatullah). Sebagai 'abidullah ia harus ikhlas menjadi penyembah Allah yang loyal, dan sebagai khalifatullah ia harus memakmurkan bumi dan memperbaiki kerusakan-kerusakan yang terjadi di atasnya.

Kedua peran tersebut tidak akan berfungsi dengan baik, bila seorang muslim tidak memiliki pribadi (akhlak) yang mulia, ruhiyah (iman) yang tinggi, dan kemampuan akal yang cerdas. Kemuliaan akhlak, kekuatan ruhiyah, dan kecerdasan akal hanya akan terjadi pada diri seorang muslim bila ia mendapatkan tarbiyah (pembinaan).

Pribadi-pribadi mulia, tangguh, cerdas, seperti halnya para sahabat Rasulullah, dapat terbentuk berkat tarbiyah dari Rasulullah yang istimrar (kontinyu). Pribadi-pribadi seperti itu tidak akan terbentuk hanya dalam beberapa jam, beberapa hari, atau beberapa minggu, tetapi sejarah membuktikan Rasulullah membina para sahabatnya sepanjang hidupnya.

Menjadi Juru Da'wah

Sudah seharusnya seorang muslim menyampaikan ilmu yang didapatkanya kepada orang lain. Karena hal ini akan bermanfaat bagi kemaslahatan umat manusia dan dirinya pribadi. Dakwah, menyeru kepada yang baik dan mencegah kepada kemungkaran, tidak seharusnya dipikul oleh kalangan da'i, ustadz, kyai, atau yang sejenisnya. Tetapi seharusnya menjadi tanggung jawab bersama kaum muslimin.

Menyampaikan suatu ilmu (tabligh) sangat dianjurkan Rasulullah SAW. Bahkan AllahSWT juga telah memerintahkannya kepada kita. Sebagaimana firman-Nya, "Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung." (QS. Ali Imran [3] : 1-4).

Dua Sayap Da'wah

Sebagai salah satu subjek dakwah, kita harus memahami dengan benar kondisi objek dakwah. Berdakwah kepada masyarakat awam berbeda dengan berdakwah kepada orang yang lebih faham. Berdakwah kepada masyarakat yang memiliki ghirah kepada Islam biasa saja juga berbeda dibandingkan dengan berdakwah kepada para aktivitas muslim. Perbedaan objek dakwah ini, harus dijadikan bahan pertimbangan, agar dakwah yang kita sampaikan dapat diterima oleh mereka.

Karena itu, Ustadz Muhammd Ihsan Tanjung, Lc, menjelaskan bahwa secara garis besar aktivitas dakwah dibagi ke dalam dua sayap, yaitu Dakwah 'Ammah (dakwah umum) dan Dakwah Khassah (dawah khusus). Dakwah umum menurut beliau adalah kegiatan dakwah berupa tabligh (ceramah umum) atau majelis ta'lim yang biasa dipahami kebanyakan manusia sebagai pengajian.

Dakwah umum adalah sebuah bentuk dakwah yang merupakan gerbang dakwah Islam, yang dengannya terbuka pulalah gerbang-gerbang dakwah lain termasuk dakwah khusus. Peserta yang hadir bisa banyak bisa sedikit. Tetapi satu hal yang pasti ialah bahwa kehadiran para pesertanya tidak konstan, tidak disiplin dan belum ada aturan main maupun keterikatan yang lebih erat. Karena sifatnya yang masih longgar dan cair, sulit diharapkan akan terjadi sebuah perubahan yang utuh pada diri para pesertanya. Sehingga jangan heran bila kita jumpai seorang muslim rajin menghadiri berbagai kegiatan tabligh dan majelis ta'lim namun perilaku buruknya tidak kunjung ditinggalkannya. Bahkan dalam skala yang lebih luas jangan heran dakwah kian semarak di masyarakat, televisi, radio, dan media-media cetak, namun korupsi, kriminalitas, judi, narkoba dan pornografi tidak kunjung menyurut, malah sebaliknya kian mewabah.

Dakwah ammah adalah dakwah perkenalan, sedangkan dakwah khassah adalah dakwah yang lebih masuk kepada inti penjelasan tentang Islam. Dengan dakwah khusus seseorang bisa lebih mengenal Islam, bukan hanya secara kognitif (akal), tetapi juga sampai ke tingkah laku. Bukan hanya sampai kepada pemahaman tentang Islam, tetapi sampai pada praktek Islam dalam kehidupan sehari-hari sejak urusan bangun tidur sampai urusan mengelola negara.

Dakwah khusus merupakan kegiatan dakwah yang memiliki beberapa kekhususan. Ia seringkali disebut sebagai kegiatan tarbiyah (pembinaan) atau takwin (pembentukan). Disebut tarbiyah sebab ia memiliki sasaran membina muslim menjadi mu'min yang peduli terhadap kemuliaan Islam dan kaum Muslimin. Disebut pembentukan sebab dimaksudkan sebagai usaha-usaha membentuk kader-kader dakwah yang handal dan sadar akan pentingnya beramal jama'i (bekerjasama) dalam sebuah jama'ah dakwah demi tegaknya Kalimat Allah. Semua ini diusahakan perwujudannya melalui sebuah sarana bernama halaqah. Dalam dakwah khusus jumlah peserta terbatas dan dengan demikian efektivitasnya lebih bisa diharapkan.

Pembina (murabbi) dan yang dibina (mutarabbi/mad'u) disyaratkan sama-sama memiliki komitmen. Sebab di dalam kegiatan ini perubahan yang diharapkan mencakup aspek qalbiyun (hati), aqliyun (intelektual), syu'uriyun (perasaan) dan khuluqiyun (akhlak). Singkatnya, tarbiyah dimaksudkan sebagai sebuah laboratorium human resource development (pemberdayaan sumber daya manusia).

Kegiatan dakwah khusus masih belum sesemarak dakwah umum. Tetapi kegiatan dakwah seperti ini, ternyata lebih semarak di kampus-kampus. Diharapkan kaum intelektual kampus sekembalinya ke masyarakat dapat mewarnai dakwah umum dengan dakwah dakwah khusus sehingga menghasilkan perubahan yang mendasar dan menyeluruh di masyarakat secara lebih cepat.

Saturday, June 03, 2006

Hakikat Dakwah

Ir. H. Tifatul Sembiring
Presiden Partai Keadilan Sejahtera

Bagi setiap aktivis da’wah, sangat penting untuk membaca dan memahami arah perubahan. Karena, perubahan adalah hakikat dakwah. Baik trend perubahan yang saat ini sedang terjadi di tengah-tengah masyarakat maupun idealita sasaran akhir yang ingin dicapai dalam gerakan da’wah Islamiyyah itu sendiri.

Kita harus punya visi, semacam imagine (mimpi) hari esok; keadaan ideal seperti apa yang ingin dicapai, yang mesti secara berani kita canangkan. Slogan ini akan memberikan semacam panduan bagi para da’i, pandangan yang jauh ke depan, membangkitkan optimisme dan motivasi bagi para pekerjanya. Sehingga mereka lebih giat dan lebih bersemangat, secara bersama-sama mengusung perubahan. Tidak sekedar asal berubah, tetapi menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya.

Target ke arah ini harus clear, mesti tergambar secara jelas dan gamblang. Seorang da’i – agar lebih efisien dan efektif - dalam da’wahnya, hendaklah menyusun perencanaan-perencanaan kerja ke depan. Sekelompok majelis ta’lim yang diisi rutin sepekan sekali, setahun jadi apa, dua tahun karakternya bagaimana, apa program-program yang dijalankan oleh jama’ahnya, baik untuk ibadah mahdhoh (ritual) maupun keterlibatan sosial, dst.

Sekelompok pemuda yang tengah ditakwin (dibentuk jadi kader) mesti dievaluasi paling tidak setahun sekali. Perubahan-perubahan apa yang telah dicapai, apa kekurangannya, faktor penyebab kegagalan dan keberhasilan. Lalu, rencana selanjutnya disusun berdasarkan hasil evaluasi tersebut. Sehingga memang dapat dipastikan bahwa perbaikan benar-benar sedang berlangsung. Inilah karakter dari sebuah da’wah yang manhaji (memiliki konsepsi), dia mengenal dari mana berangkat, ke arah mana berjalan, apa metoda dan sarana yang dapat digunakan dan dioptimalkan.

Sasaran apa yang hendak dicapai (what) dan bagaimana cara mencapai sasaran tersebut (how) harus dikontrol oleh sang aktivis. Hal ini menunjukkan bahwa da’i tersebut memang visioner. Artinya dia mampu merencanakan strateginya dan dia tahu langkah-langkah apa yang efisien dan efektif sehingga sukses sampai meraih sasaran. Semuanya ini harus tertuang dalam kalender tahunan yang memuat rencana program dan schedule da’wah yang dapat dianalisa dan dievaluasi tingkat capaiannya.

Pada tingkat yang lebih strategis, khususnya di bidang politik, kader da’wah mestilah meningkatkan kemampuan untuk melakukan perubahan-perubahan. Titik arah kemana perubahan tersebut penting digariskan, perlu digagas, perlu direncanakan dan diperjuanghkan. Itulah hakekat sebagai unsur perubah. Da’i -yang nota bene adalah orang-orang sholeh- mestilah mampu memberikan arahan yang terbaik bagi ummat ini. Bagaimana kita-kiat untuk mensukseskan perubahan tersebut. Lobbi seperti apa yang mesti dibangun. Tokoh-tokoh atau kelompok masyarakat mana yang mesti didatangi dan bersilaturrahim dengan dengan mereka, sebagai media pendekatan dan penyemaan persepsi mengenai reformasi (perbaikan).

Karena kita -PKS- memandang bahwa parlemen adalah sebagai mimbar da’wah. Artinya kita akan berupaya melakukan perubahan-perubahan secara gradual dan persuassive serta kontinyu -melalui parlemen- dengan pengajuan perubahan undang-undang dan peraturan yang ada agar lebih berpihak kepada ummat dan bangsa ini.

Seorang ustadz yang baru menjadi anggota DPRD periode 2004-2009 bercerita, pengalaman beliau bersilaturrahim dengan pejabat-pejabat daerah. Dengan beberapa anggota dewan dan tokoh masyarakat lainnya beliau berkunjung ke bupati dan berdialog tentang masalah-masalah masyarakat di kabupaten setempat. Bagaimana meningkatkan taraf hidup masyarakat, bagaimana memotivasi mereka agar lebih giat bekerja dan membimbing agar lebih produktif. Bagaimana mengatasi penyakit-penyakit sosial seperti judi, miras, pelacuran yang mulai marak, narkoba dst.

Alhasil, sang bupati merasa sangat gembira menerima silaturrahim anggota dewan tersebut. Kepala daerah itu merasa mendapatkan angin segar dan dukungan moral dari tokoh-tokoh masyarakat, meskipun pertemuan itu hanya bersifat informal. Tanpa kasak-kusuk, tanpa diliput wartawan, namun beberapa hari berikutnya sang bupati mulai lebih rajin turun ke bawah. Menertibkan warung remang-remang yang berjejer di sepanjang bantaran sungai, mengunjungi pusat-pusat kerajinan masyarakat, berkoordinasi dengan aparat keamanan dalam pemberantasan narkoba, merazia pedagang minuman keras, dst.

Skala perubahan ini akan dapat berlangsung dari tingkat pusat hingga ke seluruh daerah dan pelosok tanah air, selama seorang da’i lebih proaktif melakukan perencanaan dan bergerak sesuai dengan rencana yang telah digariskan.

Pada tingkat masyarakat skala kabupaten/kota, kita tentu ingin merubah suatu lingkungan menjadi bi’ah hasanah (lingkungan yang lebih baik). Dimana hubungan sosial antar elemen masyarakat terjalin lebih harmonis, angka kriminalitas menurun, ritual keagamaan berlangsung khidmat, angka rasio produktifitas meningkat, mobilitas penduduk berjalan lancar, peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat berlangsung terus menerus.

Dari bi’ah hasanah bagaimana menjadi bi’ah islamiyyah, bi’ah harokiyyah dst., yang pada intinya lebih baik dari keadaan sebelumnya. Situasi inipun dapat dianalogikan ke tingkat provinsi maupun pada level negara.

Dari pengalaman sang ustadz di atas, bahwa kemampuan pemanfaatan posisi dan situasi yang diciptakan terasa menjadi faktor penting untuk menjalankan agenda perubahan ke depan. Istilah istifadah zhuruf (memanfaatkan situasi dalam artian positif) mungkin lebih tepat digunakan, apalagi jika disertai dengan kemampuan penguasaan mendayagunakan segala sumberdaya dan potensi yang ada. Baik potensi yang dikuasai orang lain, apalagi potensi dan sumberdaya yang memang dikuasai sendiri. Intinya, perubahan melalui da’wah ini penting direncanakan. Wallahu a’lam bishowab.