Tuesday, February 28, 2006

Kelezatan Iman

Tiga hal yang akan menjadikan seseorang merasakan manisnya iman, menurut sebuah hadits yang bersumber dari Anas ra, adalah:

  • Mengutamakan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya dari yang lainnya;
  • Tidak mencintai seseorang kecuali karena Allah, dan
  • Takut akan kembali kepada kekufuran sebagaimana takutnya dilemparkan ke dalam neraka.

Iman dan keyakinan bagi seseorang adalah sesuatu yang mutlak diperlukan. Hidup tanpa iman akan terasa hampa, tiada arti dan makna. Sebab tanpa iman seseorang tidak tahu untuk apa dia hidup, mau diapakan kehidupan ini, dan bagaimana setelah hidup. Hidup jadi terombang-ambing oleh situasi dan keadaan. Ke mana arah angin bertiup ke sanalah mereka pergi.

Oleh karena itu iman adalah sumber ketenangan, sumber kebahagiaan, sumber kenikmatan dan kelezatan. Orang yang tak memiliki iman hidupnya dipenuhi oleh kegoncangan. Tidak stabil. Kadang bergembira ria, tapi dalam waktu yang dekat bersedih hati hingga merana, meratap, menangis, histeris. Saat gembira lupa daratan, saat terkena musibah putus asa. Begitulah corak hidup orang yang tak memiliki iman.

"Dan apabila Kami berikan kesenangan kepada manusia niscaya berpalinglah dia membelakangi dengan sikap sombong, dan apabila ditimpa kesusahan niscaya dia berputus asa." (QS. Al-Israa': 83).

Sebaliknya, orang yang hatinya dipenuhi dengan iman hidupnya selalu tenang. Di saat mendapatkan karunia Allah, tidak lupa daratan, tetap merasakan bahwa kenikmatan ini semata-mata dari Allah, karenanya perlu dinikmati, juga disyukuri. Jika terkena musibah atau bencana, maka ia tetap menyadari bahwa semua ini datangnya dari Allah.

Salah satu ciri dari kehidupan orang yang beriman itu adalah tenang. Hidupnya tidak diwarnai dengan kesedihan yang berlebihan, tidak juga kegembiraan yang luar biasa. Tetap optimis menghadapi setiap kondisi. Tidak lekas putus asa, sebab dia yakin bahwa Allah berkuasa atas segala sesuatu. Allah kuasa pula mengubah keadaan sewaktu-waktu. Kekuasaan itu terletak di tangan-Nya secara mutlak.

"Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mukmin supaya keimanan mereka bertambah, di samping keimanan mereka (yang sudah ada). Dan kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi, dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS. Al-Fath: 4).

Antara iman dan ketenangan punya korelasi yang positip. Jika iman ada, ketenangan musti tumbuh. Jika ketenangan tumbuh di hati seseorang, maka iman akan semakin bertambah. Pertambahan iman akan menambah ketenangan. Dan begitu seterusnya.

Karenanya iman itu pasti dapat dinikmati, bahkan iman adalah kenikmatan yang paling tinggi. Tidak ada kenikmatan yang melebihi iman. Tiada kelezatan yang mengungguli iman. Karenanya bersyukurlah kita yang telah memiliki iman.

Adalah sesuatu yang tidak wajar bila ada orang yang mengaku beriman, tapi hidupnya tidak tenang, tidak merasakan kenikmatan. Orang yang demikian mungkin saja beriman secara salah, atau mungkin iman itu belum sampai menancap dalam dada. Bibirnya saja yang mengaku beriman, sementara hatinya kosong melompong..

Berikut ini ada beberapa amalan utama yang menjadikan seseorang dapat merasakan kelezatan iman. Barang siapa yang hatinya dipenuhi dengan keutamaan ini, dipastikan dapat merasakan manisnya iman. Ada tiga hal yang perlu kita upayakan.

1. Mengutamakan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya melebihi yang lain.

Cinta memang urusan perasaan, tetapi tanda-tandanya nampak dalam perbuatan. Mengaku cinta tanpa memberikan bukti nyata, namanya cinta dusta. Bila persoalannya dengan sesama manusia, kelanjutannya bisa ke pengadilan. Tetapi dalam hubungan dengan Allah, bisa berakibat tertolaknya semua amalan, karena disinyalir imannya bukan iman betulan. Bukti cinta di antaranya adalah dengan menomorsatukan yang dicintai. Selama belum mengutamakan syariat Allah dalam kehidupannya, pengakuan cinta seorang muslim terhadap Allah masih diragukan.

Padahal tanpa dilandasi cinta, pelaksanaan ibadah yang penuh pengabdian, pengorbanan yang disertai keikhlasan tidak akan pernah terjadi. Tanpa cinta, pelaksanaan syariat hanya akan terasa sebagai beban. Ibarat seseorang yang harus memberikan pertolongan di saat terjadi kecelakaan, bila si korban adalah orang yang dicintai, tentu pengorbanan yang diberikan akan terasa lain dibanding bila terhadap orang lain. Begitulah seharusnya membuktikan cinta kepada Allah, yakni dengan begitu gembira, dengan penuh semangat menyambut segala aturan syariat. Tidak ada yang bisa menghalangi, untuk urusan yang menyangkut terlaksananya aturan-aturan Allah dimuka bumi.

Adapun cinta kepada Rasulullah, adalah manifestasi langsung dari kecintaan kepada Allah. Karena lewat Rasul-Nya-lah ajaran Allah sampai kepada segenap manusia. Dan, Rasulullah adalah syariat Allah yang hidup, yang bisa diteladani, ditiru segala sesuatunya. Ajaran-ajaran Islam yang lebih detail, tidak selalu termuat di dalam firman Allah, tetapi bisa dicontohkan langsung pada kehidupan Rasul. Mencintai Rasulullah adalah juga salah satu bukti kecintaan kepada Allah, dan merupakan syarat mutlak bisa terlaksananya aturan-aturan syariat.

2. Cinta karena Allah

Setelah menempatkan Allah pada urutan pertama yang dicintai, sangatlah wajar bila kelanjutannya adalah mencintai segala sesuatu karena Dia semata. Segala hal yang tidak dicintai-Nya harus dibenci. Dan segala sesuatu yang menjadi kecintaan-Nya, seharusnyalah dicintai. Sebab, bagaimana bisa dikatakan cinta, bila ternyata yang dibenci-Nya itu justru yang menjadi kesenangan kita.

Mencintai segala sesuatu karena Allah, tidaklah akan menghalangi manusia dari kehidupan yang wajar. Justru itulah cara hidup yang paling alamiah. Karena Allah senantiasa menyukai yang baik-baik. Segala sesuatu yang dicintai-Nya pasti baik dan membawa manfaat, bahkan bukan hanya untuk pribadi melainkan juga untuk masyarakat banyak. Sementara yang dibenci Allah adalah sebaliknya, yang tentu saja akan membawa bencana bagi kehidupan manusia dan dunia.

Kadang ada orang yang beralasan, secara fitrah ia sudah menyukai kebenaran dan segala yang baik-baik. Lalu, dengan gegabah ia menyatakan sudah menunjukkan bukti kecintaan kepada Tuhan tanpa harus bersusah payah melaksanakan aturannya yang memberatkan. Orang demikian adalah omong kosong, karena ia mencintai sesuatu bukan didasarkan pada cintanya kepada Allah melainkan pada perasaannya sendiri, pada nafsunya. Nafsunya itulah yang menjadi tuhannya. Buktinya, perintah Allah sekalipun, asal dirasa memberatkan, tidak akan dilakukan. Inilah justru bukti kekafiran yang paling jelas.

Cinta kepada Allah akan melandasi segala tingkah laku seseorang dalam bermasyarakat. Memilih sahabat, lingkungan, istri, pekerjaan, pemimpin, dan semuanya selalu dilandasi pada kecintaan kepada Allah. Mereka yang termasuk dalam kategori orang yang dibenci Allah, tidak akan diambil menjadi orang dekat, apalagi dipentingkan.

3. Takut kembali kepada kekufuran

Begitu menjadi muslim, kita harus mengucapkan selamat tinggal kepada kejahiliyahan, selamat tinggal tradisi lama, selamat tinggal segala yang berbau budaya jahiliyah. Kita kubur dalam-dalam masa silam. Kini yang ada hanya Islam. Kita mulai sejarah baru, hidup baru, ketentuan baru dan segalanya yang serba baru.

Tak perlu ragu-ragu, sebab kita yakin Islamlah yang akan mengantar kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Kita mungkin satu saat bisa mengharapkan keuntungan besar dari bisnis yang kita lakukan. Tetapi apalah gunanya bila itu tidak bisa menolong nasib kita di akhirat?

Untuk bisa berbisnis, berbuat, berkarya, mengajarkan ilmu, mendidik dan lain-lain dengan sukses sekaligus punya arti untuk kehidupan akhirat, Islamkan dulu perilaku kita. Tinggalkan kehidupan jahiliyah selekas-lekasnya, dan jangan kembali lagi. Takutlah kepada kekufuran sebagaimana takutnya kita dimasukkan ke dalam api neraka yang menyala-nyala.

Di samping sebagai bukti cinta, sikap meninggalkan kekufuran itu juga akan menjadikan kita mampu merasakan manisnya iman. Artinya, kita justru merasa bahagia, beruntung, senang, dengan meninggalkannya. Selama kita masih merasa aman meninggalkan kekufuran, maka cinta kita kepada Allah belum tulus. Dan, itu akan mempengaruhi perasaan kita, yang justru merasa tertekan dengan segala atribut Islam.

Wallahu 'alam bishowab.

Thursday, February 23, 2006

Bersihkan Hati

Puncak kesuksesan seseorang itu alat ukurnya adalah bisa berjumpanya dengan Allah. Ingatlah, "(yaitu) hari di mana harta dan anak-anak tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan qolbun saliim (hati yang bersih)." (QS Asy Syu'araa' [26]: 88-89).

Firman-Nya, "Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikian jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya." (QS Asy Syams [91]: 7-9)

Karenanya pembahasan dalam 7B (kiat meraih sukses, dari Aa Gym) yang meliputi beribadah dengan benar, berakhlak baik, belajar tiada henti, bekerja keras dengan cerdas, bersahaja dalam hidup, dan bantu sesama, semuanya ini baru akan diterima oleh Allah sebagai amal bila dilakukan dengan ikhlas, buah dari hati yang selalu bersih.

Maka kunci sukses ada pada kegigihan menjaga kebeningan hati agar sekecil apapun amal kita bisa diterima oleh Allah. Allah Yang Maha Mengetahui tidak akan menerima amal kecuali amal yang ikhlas. Amal besar tetap tertolak jika tak ikhlas.

Hati bisa kotor baik saat sebelum beramal, sedang beramal atau setelah beramal. Kotor hati sebelum beramal yaitu niat yang sering salah. Misalnya, kita bersedekah, tapi niatnya ingin disebut dermawan, takut disangka pelit, atau supaya tidak diganggu.

Kotor hati ketika sedang beramal yaitu riya (pamer, ingin dilihat). Misalnya, kita ingin dilihat orang saat sedekah ratusan ribu, ingin diketahui orang jika mengeluarkan zakat dalam jumlah besar. Padahal berzakat itu bukan sebuah prestasi karena zakat adalah kewajiban jika tak menunaikan berarti berdosa.

Kotor hati setelah beramal yaitu pertama, menceritakan amal, misalnya menceritakan jumlah sedekah. Menceritakan kebaikan boleh saja, tapi Allah Mahatahu niat di balik setiap cerita, apakah niatnya mengajak orang lain sedekah atau ingin disebut ahli sedekah. Atau, menceritakan tentang seringnya kita beribadah haji. Kalau niatnya memotivasi orang yang lain, mudah-mudahan menjadi amal kebaikan, tapi kalau sekadar untuk pamer, bisa jadi kita justru lebih buruk dari orang yang belum beribadah haji

Kedua, takabur yaitu merasa diri bisa berbuat, merasa lebih dengan merendahkan orang lain. Misalnya kita merasa berjasa lantaran menyekolahkan, memberi pekerjaan, atau mengajari seseorang. Padahal hakikatnya Allahlah yang berbuat, kita hanyalah dijadikan jalan pertolongan bagi hamba-hamba-Nya.

Ketiga, ujub yaitu merasa diri berbeda dari yang lain, mungkin tidak berbicara atau menceritakan, tapi hati kecilnya merasa lebih dari yang lain. Misalnya, kita rajin membaca Alquran, shaum atau tahajud, tapi ketika melihat ada orang yang jarang membaca Alquran, shaum atau tahajud, hati kecil kita meremehkannya dan kita merasa paling shalih.

Padahal hanya Allah Yang Mahatahu siapa yang lebih ikhlas dalam beramal di antara hamba-hamba-Nya. Karenanya kita tak cukup bias beramal, kita juga harus menjaga penyakit hati di awal, di tengah, maupun akhir amal-amal kita.

Ketika hati kita bersih, orang menghargai kita insya Allah karena kemuliaan pribadi kita, tetapi yang terpenting adalah hati yang bersih akan membuat amal kita diterima-Nya dan Allah berkenan menjamu kita di akhirat kelak. Tiada kesuksesan kecuali orang yang berhasil berjumpa dengan Allah, buah dari qolbun saliim, hati yang selamat, yang bersih dari kebusukan.

Ya Allah, ampuni seluruh dosa-dosa kami, hapuskan sekelam apapun kesalahan kami, hapuskan sekotor apapun aib-aib kami. Ya Allah bersihkan diri kami dari segala kesombongan dan sifat riya kami selama ini. Ampuni jikalau Engkau menyaksikan kami ujub. Juga ampuni segala kedengkian dan kebencian kami terhadap apapun dan siapa pun yang Engkau cintai.

Ya Allah, bersihkan hati kami sebersih-bersihnya, jadikan hati ini hanya puas dengan ridha-Mu. Jadikan hati kami hati yang bening, hati yang selalu nikmat dengan apapun yang terjadi.

Ya Allah, jauhkan hati ini dari segala kebusukan hati. Berikan kepada kami kebahagiaan seperti nikmat yang Engkau berikan kepada hamba-hamba-Mu yang shalih. Berikan kepada kami kesanggupan rendah hati dan kenikmatan beramal dengan tulus dan ikhlas.

Wahai Allah, hanya Engkaulah tumpuan harapan kami, kepada-Mulah kembalinya segala urusan, terimalah amal-amal kami.

Wallahu 'alam bishowab.

Sunday, February 19, 2006

Allah pun Tersenyum Melihat Kita


Bagi Allah, manusia bukan segala-galanya. Andaikan manusia tidak diciptakan pun, ciptaan Allah yang lain malaikat, alam raya, binatang, tumbuhan, dsb‑sudah lebih dari cukup, Malah mereka jauh lebih tidak “bermasalah” dibanding manusia, Tingkat ketundukan, kepatuhan, dan ketaatannya kepada Allah melebihi manusia. Yang banyak tingkah itu kan manusia dan iblis. Manusia itu kadang‑kadang “menjengkelkan” Antara lain, suka melakukan perbuatan onar, pertengkaran, pertumpahan darah, dan sebagainya, Tetapi, hebatnya kalau baik, kebaikannya melebihi malaikat, sampai‑sampai Allah perintahkan malaikat sujud kepadanya (Nabi Adam). Tetapi, yang benar‑benar baik itu jumlahnya sedikit. Sebaliknya, kalau sudah jelek, maka perilakunya melebihi iblis, Tetapi yang seperti ini jumlahnya juga tidak banyak. Yang banyak itu yang setenga-hsetengah. Kadang baik, diwaktu lain berubah menjadi jelek. Atau sebaliknya, kadang jelek, tiba-tiba berubah menjadi baik.

Kelelawar, pekerjaanya “mencuri” pisang milik orang di kebun. Tetapi, itu dilakukan karena terpaksa sebab tidak ada alternatif lain, Hebatnya, setiap kali mencuri tidak mau berlebihan, diambil secukupnya, setelah kenyang kembali ke tempatnya, Kelelawar tidak membawa pisang ke rumahnya. Berbeda dengan manusia. Kalau mencuri pisang, biasanya bukan hanya satu biji, atau satu sisir. Yang diambil bisa bertandan-tandan. Bahkan, uang pedagang pisang sepulang dari setor ke luar kota dirampas, orangnya dibacok, dan kendaraannya dibawa kabur. Musang, pekerjaannya menerkam ayam, Tetapi, yang dilakukan karena lapar. Ayam diterkam, dimakan, setelah kenyang kembali lagi ke lubang persembunyiannya. Tetapi manusia? Kalau perilakunya jelek, jika mencuri ayam bukan hanya satu ekor atau dua ekor. Ayam satu kandang dibawa pulang. Uang hasil curiannya untuk judi, minum, dan bersenang‑senang di tempat remang-remang.

Perilaku manusia sering keterlaluan. Sekali lagi, kalau perilakunya rusak, melebihi binatang dan iblis. Perilaku manusia terkadang kebablasen. Contoh, Allah lewat Nabinya melarang budaya sogok dan menyogok (suap‑menyuap). Sebab keduanya sama‑sama masuk neraka. Tetapi dalam praktek, yang nyogok dan yang disogok sama‑sama proaktif. Istilah uang sogok pun diperhalus menjadi uang semir, uang administrasi, uang lelah, uang bensin, uang sabun, dan sebagainya. Kalau ada yang nolak dikatakan sok suci, sok alim, dan sok‑sok yang lain. Sebaliknya, kalau tidak nyogok dicap tidak tahu diri, tidak tahu berterima kasih, Dampaknya, urusan macet, surat tidak lancar, dsb. Allah melarang zina, tetapi praktek seperti ini dikelola secara resmi dan profesional. Di mana-mana tempat penginapan memberi peluang bagi para tamunya untuk berbuat maksiat. Allah melarang judi, tetapi judi tontonan sehari‑hari. Allah melarang menenggak minuman keras, tetapi botol minuman berkadar alkohol tinggi berjejer di kamar rumah, dan tersedia bebas di warung-warung di tepi jalan. Allah melarang ngrasani orang, tetapi hal itu menjadi hobi kita. Sampai‑sampai acara gosip dikemas secara baik di sejumlah TV. Allah melarang fitnah dan adu domba tetapi hal ini menjadi kebiasaan. Allah melarang kita meremehkan orang lain, tetapi dengan perasaan sombong manusia menganggap enteng orang lain. Allah lewat Nabi Muhammad melarang makan dan minum dengan tangan kiri dan sambil berdiri, tetapi dalam kenyataan para elit pimpinan selalu melakukan hal tersebut tanpa perasaan bersalah. Agama juga memerintahkan saat makan jangan sampai ada sebutir nasi pun yang tersisa. Sebab, menghabiskan setiap butiran nasi itu juga bagian dari rasa syukur. Kenyataannya, banyak kita lihat termasuk orang yang mengerti agama kalau makan sering menyisakan makanannya di piring. Dan masih banyak larangan lain dari Allah tetapi dengan tenangnya kita langgar. Sebaliknya, Allah banyak memerintahkan sesuatu kepada kita, tetapi dengan tenang pula kita tinggalkan, Allah memerintah kita shalat lima waktu tetapi masih banyak umat Islam yang tidak melaksanakannya. Ada perintah Allah mengeluarkan zakat (mal, dan fitrah) tetapi masih banyak yang tidak tahu hal itu. Allah memerintahkan berpuasa, tetapi banyak orang yang tidak peduli. Allah perintahkan kita shalat Jum'at, tetapi banyak yang tidak melaksanakan. Allah perintahkan kita menebar kebaikan, tetapi keburukan yang kita pertontonkan, dsb.

Tetapi anehnya, disaat butuh sesuatu manusia merintih, mengadukan nasib, dan memohon pertolongan kepada Allah, Tanpa perasaan malu mereka berdo'a kepada Allah agar dijauhkan dari bencana dan kesulitan hidup. Bagi Allah tidak masalah, Allah itu maha rahman dan rahim. Maka, semua permohonan hamba‑Nya pasti dikabulkan, Tetapi, andaikan Allah seperti kita, Allah akan tersenyum melihat perilaku hamba‑Nya. Sebab, sebagian manusia hanya ingat Allah kalau butuh, Dan lupa kembali setelah kebutuhannya terpenuhi, Ketika kepepet ingat Allah, setelah itu lupa lagi. Perilaku seperti itu sama artinya mempermainkan Allah, Kita tidak layak berdo'a kepada Allah walau dengan derai air mata, Jika seperti itu perilaku kita, maka Allah akan “tersenyum” melihat kita yang pandai bermain sandiwara di hadapan‑Nya.

Wallahu 'alam bishowab.

Saturday, February 18, 2006

Akhlak yang Mulia

Allah Swt. berfirman di dalam al-Quran : "Dan tiadalah Kami mengutus kamu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam". (Q.S. al-Anbiyaa' : 107). Maksud dari ayat ini adalah kedatangan Muhammad yang membawa agama Islam kepada kita mestinya menjadi rahmat bagi seluruh alam. Ada Orang yang lebih pintar dari saya mengatakan bahwa seluruh alam maknanya seluruh manusia. Jadi kedatangan agama Islam itu harus menjadi rahmat bagi seluruh manusia.Tidak hanya bagi umat muslim saja, bagi penjahat, bahkan bagi orang-orang kafir. Disinilah yang perlu kita perhatikan baik-baik.

Beberapa arti rahmat diantaranya : anugerah, faedah, manfaat, guna. Sehingga sampailah kita pada kesimpulan bahwa agama Islam diturunkan oleh Allah kepada kita karena ada manfaatnya, tidak menyusahkan malah sebaliknya memudahkan (mengenakkan) kita. Persoalan selanjutnya adalah bagaimana orang-orang kafir, pencuri atau orang yang kecurian mendapat guna juga dari Islam. Sebagai contoh orang yang kecurian diharuskan sabar oleh Islam dalam hal ini. Dalam Islam itu kita mengenal Rukun Islam yang terdiri dari membaca dua kalimah syahadat, menunaikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa dan menunaikan ibadah haji. Jika kita membaca syahadat apakah orang lain mendapatkan manfaatnya atau berguna baginya. Jawabannya "tidak", berarti ayat di atas belum terbukti. Kemudian setiap hari kita shalat, apakah yang didapatkan orang lain dari shalat itu. "Pahala" hanya untuk kita yang melaksanakannya, "tidak" untuk orang lain. Zakat ada manfaatnya, tapi "tidak" untuk orang kafir, apalagi puasa, kita merasakan lapar sementara orang lain tidak mendapatkan apapun. Dan yang terakhir adalah haji, sama juga. Paling-paling oleh-oleh. Itupun hanya untuk orang-orang tertentu saja.


Makanya, banyak yang "tidak senang" kepada Islam karena tidak ada gunanya, menurut sedikit uraian saya tadi. Tapi kita tidak berhenti sampai disini karena Islam itu harus berguna bagi siapa saja menurut surat al-Anbiyaa' : 107 di atas. Islam seharusnya mulia (bersinar) tetapi malah sebaliknya terkutuk akibat "ulah" orang-orang tertentu seperti "Teroris". (begitu orang Barat menyebutnya). Karena itu kita kembali lagi kepada pembahasan di atas bahwa, buah dari pelaksanaan "5 Rukun Islam" ditambah dengan yang lainnya adalah akhlakul karimah. Akhlakul karimah inilah yang mampu memberikan manfaat, memberikan guna atau memberikan faedah untuk semua orang. Sebagai contoh, jika di sebuah kampung yang penduduknya berakhlak baik meskipun orang-orangnya lupa menutup kunci pintu tapi mereka merasa aman karena tidak ada barang yang kehilangan atau dicuri. Tetapi jika sebaliknya (akhlak mereka jelek) maka akan membuat sulit, susah, bahkan kerugian bagi orang lain.

Islam sebagai rahmat dan Akhlakul karimah ini ibarat pohon dengan buahnya. Kalau kita ambil bagian dari pohon tersebut misalkan akarnya, maka pohon itu akan mati. Berbeda jika kita mengambil buahnya, maka pohon tersebut akan tetap berbuah dan bermanfaat terus bagi orang lain. Akhlakul karimah itulah buah dari pengamalan Islam yang benar. Dengan akhlakul karimah ini jangan sampai kita "bertengkar" hanya karena perbedaan dalam masalah ibadah (khilafiyah) misalkan shalatnya tidak memakai "Usholli". Akhlak yang mulia inilah yang akan menentramkan dunia. Sekarang ini Indonesia sedang mengalami "Krisis Kemanusiaan" dalam bahasa Antropologi bukan krisis politik, hukum atau ekonomi. Hakekatnya adalah krisis akhlak. Imam al-Ghozali menjelaskan akhlak dengan beberapa tingkatan. Tingkatan pertama (paling rendah) adalah selalu merasa dilihat Allah. Sampai disini belum muncul akhlakul karimah. Barulah ketika merasa melihat Allah (tingkatan kedua) akan muncul akhlak tersebut dan tingkatan yang paling tinggi takkala merasa bersatu dengan Allah, seseorang akan memiliki akhlak yang paling tinggi.

Dzikir Jahar dan dzikir Khofi kita lakukan dalam upaya untuk selalu mengingat Allah yang merupakan sebuah latihan untuk memunculkan akhlakul karimah karena selalu merasa dilihat Allah. Juga dengan berpuasa karena hal ini merupakan ibadah yang merupakan usaha untuk mencontoh sifat Tuhan seperti tidak makan dan minum, bersetubuh karena Allahpun tidak makan dan minum dan tidak beranak.

Wallahu 'alam bishowab.

Saturday, February 11, 2006

Agar Dapat Menikmati Islam

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu (QS Al Maidah: 3).

Hari itu adalah hari pertama Ali Thanthawi (alm) mengajar di sekolah menengah umum. Beliau adalah guru agama yang ditugaskan di situ. Begitu beliau sampai di depan kelas, siswa-siswi langsung gaduh, ribut tidak karuan. Beliaupun heran, tadinya anak-anak baik-baik saja, kok sekarang ribut? Ada apa?

Beliau bertanya kepada mereka, “Kenapa begitu saya datang kalian ribut?” Mereka menjawab, “Sebab sekarang adalah jam pelajaran agama, pelajaran santai dan asal-asalan atau asal ada!”

Itulah gambaran pengalaman Syekh Ali Thanthawi (alm) sewaktu beliau menjadi guru agama Islam di sebuah sekolah di salah satu Negara Timur Tengah. Pengalaman ini menggambarkan bahwa agama Islam sudah sedemikian parah dipahami dan dimengerti oleh para anak didik, sampai-sampai mata pelajaran agama dan jamnya dijadikan sebagai saat untuk santai, gaduh dan ribut yang sama sekali tidak ada konsentrasi. Itu dulu.

Sekarang, Amerika sedang memelopori gerakan perang melawan terorisme. Dan salah satu proyeknya adalah mengganti kurikulum pendidikan agama Islam dengan konsepsi dan pemahaman yang diinginkan Amerika. Proyek penggantian kurikulum ini terus digalakkan, termasuk di Negara-negara Timur Tengah. Dan jika proyek ini berhasil dan sukses, bisa kita bayangkan akan seperti apakah pemahaman masyarakat terhadap Islam nantinya?

Pada suatu hari, Syekh Ali Thanthawi (alm) bertanya kepada para muridnya, “Mungkinkah kita menjelaskan tentang Islam dalam tempo satu jam kepada orang-orang yang belum memahami Islam?” Para murid menjawab, “Tidak mungkin, bagaimana kita mungkin menjelaskan apa itu Islam hanya dalam tempo satu jam kepada seseorang yang sama sekali belum mengerti tentang Islam.”

Syekh Ali Thanthawi (alm) menjawab, “Tetapi, Rasulullah Saw. dahulu mampu menjelaskan tentang Islam hanya dalam beberapa kalimat saja, dan seorang badui yang untuk pertama kali mendengarnya, langsung bisa memahaminya dan bahkan mampu menjelaskannya kembali kepada kaumnya. Padahal yang namanya orang badui itu adalah seseorang yang hidupnya nomaden, berpindah-pindah dari satu kawasan ke kawasan lain, sesuai dengan wilayah hujan dan rumput. Mereka tidak mengenal budaya perkampungan, perkotaan, apalagi peradaban, termasuk juga mereka tidak mengenal agama. Yang mereka kuasai hanyalah logika yang sederhana saja.”

Kalau begitu, marilah kita sekarang mencoba mengerti dan memahami Islam dalam tempo yang singkat, namun padat dan jelas, insya Allah. Semoga Allah Swt. memberikan taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua, amin

Pada hari Jum'at, tanggal 09 Dzul Hijjah tahun 10 H, Rasulullah Saw. dan para sahabatnya sedang berkumpul di Arafah, sebuah tempat dekat kota Makkah di Semenanjung Arabia. Mereka sedang menjalani sebuah ritual yang dikenal dengan nama wukuf. Saat mereka sedang wukuf itulah Allah Swt. menurunkan keterangan tentang agama yang dibawa oleh utusan-Nya yang terakhir. Keterangan itu (dan selanjutnya kita sebut Firman) berbunyi,

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا



Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu (QS Al-Maidah: 3).

Firman Allah Swt. menjelaskan kepada kita beberapa hal, yaitu,

1. Agama Islam ini adalah agama yang sempurna. Istilahnya kamil. Di dalam agama ini terdapat berbagai penjelasan dan jalan hidup dalam berbagai sisi kehidupan, baik kehidupan ritual, seremonial, pergaulan, sosial, ekonomi, politik, budaya, keamanan dan sisi-sisi kehidupan lainnya. Tidak ada satu pun sisi kehidupan kecuali agama ini menjelaskan mana yang baik dan membawa manfaat dan mana yang buruk yang mendatangkan mara bahaya.

2. Agama Islam ini adalah kenikmatan yang Allah Swt. berikan kepada kita secara lengkap. Istilahnya tamam. Terkait dengan Islam adalah nikmat, Rasulullah Saw. mengajarkan kepada kita agar selesai makan, atau minum, kita mengucapkan doa, “Al-hamdulillah al-ladzii ath'amana wa saqana waja'alana Muslimin (segala puji milik Allah Swt. yang telah memberikan makan dan minum kepada kami, dan menjadikan kami orang-orang Islam). Dalam doa yang diajarkan Rasulullah Saw. kepada kita ini ada satu hal yang menarik, yaitu Beliau Saw. merangkaikan kenikmatan makan dan minum dengan kenikmatan kita sebagai orang Islam. Hal ini menegaskan kepada kita bahwa agama Islam dan ber-Islam adalah sebuah kenikmatan.

Mungkin ada sebagian kita yang bertanya, “Kenapa selama ini kita kok tidak atau kurang begitu merasakan Islam sebagai kenikmatan?” Untuk menjawab pertanyaan ini, kita bisa melihat kasus tidak bisa merasakan nikmatanya makan dan minum, yang memang oleh Rasulullah Saw. dirangkaikan dengan kenikmatan Islam dan ber-Islam.

Paling tidak ada dua penyebab, kenapa kita tidak atau kurang merasakan nikmat Islam atau ber-Islam sebagaimana kita tidak atau kurang merasakan nikmat makanan dan minuman.

Pertama, mungkin karena lemahnya pemahaman kita terhadap Islam,. Karena ketidaktahuan kita, makanan yang sebenarnya lezat, nikmat dan bergizi, tidak mau kita konsumsi. Sepeti anak kecil, untuk mengkonsumsi makanan bergizi, kita harus menyuapinya, dan bahkan mengejar-ngejarnya. Setelah dia dewasa, dan paham, dialah yang gantian mengejar-ngejar kita untuk memenuhi permintaannya. Oleh karena itu, marilah kita tingkatkan pengetahuan, wawasan dan pemahaman kita terhadap agama kita, agar bisa merasakan nikmat Islam dan ber-Islam.

Kedua, atau mungkin karena adanya penyakit dalam diri kita, sariawan misalnya. Sehingga, makanan yang lezat dan enak itu menjadi tidak nikmat dan tidak lezat. Oleh karena itu, marilah kita bersihkan diri kita dari berbagai penyakit hati dan jiwa, agar kita bisa menikmati Islam dan ber-Islam.

3. Agama Islam adalah agama yang diterima dan diridhai Allah Swt. Istilahnya, agama yang mardhiy. Hal ini sejalan dengan firman Allah swt pada ayat lain dari Al Qur'an, yaitu,

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ اْلإِسْلاَمُ



Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah Swt. hanyalah Islam” (QS Ali Imran: 19).

Bahkan, pada ayat lain, Allah Swt. menjelaskan bahwa Dia tidak akan menerima agama selain Islam, dan siapa saja yang mengikuti selain Islam, di dunia amalnya tidak akan diterima dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang merugi. Allah Swt., berfirman,

وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي اْلآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ



Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi (QS Al Maidah: 85)

Itulah satu sisi gambaran tentang Islam, dan masih banyak lagi gambaran-gambaran lainnya, baik yang ada dalam Al-Qur'an maupun yang ada dalam hadits Rasulullah Saw., ataupun dalam kehidupan para sahabat Nabi Saw., generasi yang pertama-tama menerapkan dan mempraktekkan Islam dan ber-Islam dalam kehidupan mereka, semoga Allah Swt. senantiasa memberikan bimbingan kepada kita untuk terus meningkatkan wawasan dan pemahaman kita, dan semoga kita tidak meninggal kecuali dalam keadaan muslim, amin. Wallahu a’lam bishshawab.

Oleh H. Musyafa Ahmad Rahim, Lc.

Wednesday, February 08, 2006

Hijrah Bukan Uzlah

Permulaan kalender Hijriyah sebagai tahun baru Islam ditetapkan pada masa Khalifah Islam kedua, yaitu Umar bin Khattab. Tahun baru Islam dimulai sejak hijrah Rasulullah SAW bersama para sahabat dan pengikutnya dari Makkah ke Yastrib (Madinah).

''Peristiwa hijrah memisahkan antara yang hak dan yang bathil. Oleh sebab itu abadikanlah dalam rangkaian sejarah,'' tegas Umar tujuh tahun kemudian setelah bermusyawarah dengan sahabat yang lain.

Jiwa, semangat, hikmah, dan relevansi hijrah haruslah dikenang dan dihayati seorang Muslim. Meski kata hijrah secara bahasa berarti pindah, tapi maknanya tak selalu pindah secara fisik.

Dalam konteks kekinian, berhijrah kepada Allah SWT dengan menunjukkan sikap, komitmen, dan identitas keimanannya. Hijrah dalam kategori ini disebut hijrah qalbiyah, hijrah hati atau hijrah mental.

Hijrah juga tak berarti uzlah (mengasingkan diri) dari masyarakat. Seorang Muslim tetap bergaul dengan manusia lainnya, tapi tidak terlibat atau melibatkan diri dalam perbuatan yang tidak baik atau merusak. Bahkan, berupaya untuk mencegah dan memperbaiki kerusakan di masyarakat.

Hijrah hati berlaku sepanjang masa. ''Seorang muhajir (orang yang berhijrah) ialah yang hijrah dari segala perbuatan yang dilarang Allah.'' (HR Bukhari).

Hijrah seperti yang dilakukan Rasulullah SAW sudah tidak ada lagi setelah fathul Makkah. Tetapi hijrah dari segala yang dilarang Allah SWT kepada yang diridhai-Nya, hijrah dari maksiat ke taat, hijrah dari kejahatan ke kebaikan, hijrah dari sistem ekonomi ribawi ke sistem ekonomi yang Islami, hijrah dari perpecahan kepada persatuan dan ukhuwah Islamiyah, hijrah dari pandangan hidup sekuler ke pandangan hidup Islam, tetap diperlukan sepanjang masa.

Buya Hamka pernah mengatakan, melihat keadaan sekarang ini, di mana pedoman kehidupan sudah kabur, nilai yang benar dan yang salah kadang kacau balau, yang hak dan yang bathil sudah tak tentu ujung pangkalnya, umat Islam harus hijrah.

Kemana harus hijrah? Dalam Alquran dikatakan (ucapan Nabi Luth), ''Saya hijrah kepada Tuhanku.'' (QS Al-Ankabut: 26). ''Hatiku sudah tidak lekat lagi kepada yang munkar, yaitu segala yang berlawanan dengan kehendak Allah SWT dan Rasul-Nya,'' ujar Hamka.

Hijrah hati, kata Ibnu Qayyim al Jauziyah dalam Thariqul Hijratain, dalam kehidupan dan perjuangan Muslim, selalu menempuh dua jalan hijrah. Pertama, hijrah kepada Allah SWT dengan mendekatkan diri (taqarrub) kepada-Nya, mencintai-Nya, berbakti kepada-Nya, berserah diri kepada-Nya, berdoa, dan mengharap hanya kepada-Nya. Kedua, hijrah kepada Rasul SAW, dengan mengikuti langkah-langkah dan perjuangannya. Selamat Tahun Baru 1427 Hijriyah.

Oleh : M. Fuad Nasar

Sumber : Republika Online


Tuesday, February 07, 2006

Upaya Untuk Terus Perbaiki Diri

“ Jika kamu berbuat baik ( berarti ) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka ( kejahatan ) itu bagi dirimu sendiri …” ( QS.17:7)

Kehidupan ini akan terus bergulir selama nafas kehidupan kita masih berdenyut. Hidup ini laksana kita sedang mengisi neraca timbangan yang nantinya akan menghantarkan kita pada kehidupan yang kekal. Perbuatan-perbuatan baik dan buruk senantiasa akan terus dan terus memenuhi neraca timbangan tersebut sampai episode kehidupan kita berakhir. Dan kelak nanti di Mahkamah Allah neraca tersebut akan diperlihatkan kepada kita, inilah hasil yang telah kita lakukan selama kita hidup didunia.

Seharusnya kita sadar sebagaimana Rasululloh saw mengingatkan kepada kita bahwa gambaran kehidupan dunia, ka raakibin istadzalla bi syajaratin tsumma raahaa wa tarakah. Seperti seorang musafir yang bernaung dibawah rindangnya pohon, ia beristirahat tapi setelah itu ia tinggalkan pohon tersebut. Dan, karena, Rasul memberi panduan agar hidup ini disikapi sebagai sesuatu yang sementara. Kun fi dunya ka annaka ghariibun au’abiri sabil, hiduplah engkau di dunia, seperti orang asing, atau orang yang dalam perjalanan. Orang asing, selalu berhati-hati. Sebab, ia belum paham betuk seluk beluk wilayah yang ia tempati. Hati-hati terhadap aral, waspada terhadap kemungkinan buruk. Sedangkan orang yang dalam perjalanan, akan berpikir bagaimana mencapai tujuan, bekal apa saja yang harus disertakan, dan yang pasti akan ada saat ia harus mengakhiri perjalanan itu.

Ibnu Umar mengatakan, “ Rasulullah saw. Memegang bahuku sambil bersabda, “ Didunia ini, jadilah seperti orang asing atau perantau. Jika berada diwaktu pagi, jangan mengharap akan bertemu sore. Dan, jika berada diwaktu sore jangan berharap akan sampai diwaktu pagi. Pergunakanlah kesempatan masa sehat untuk masa sakit, dan masa hidup untuk bekal mati. “ ( Bukhari )

Kehidupan memang memberikan banyak pilihan. Ada yang sulit, sedang dan mudah. Sekian banyak manusia yang pernah singgah di dunia ini, selalu terkotak pada tiga pilihan itu. Dalam perjalanan kehidupan ini, peluang dan kesempatan kita sama. Allah telah memberikan kita petunjuk melalui Al Quran dan sunnah Rasul-Nya. Allah telah memberi kemampuan berfikir, dan memberi kita sejumlah kewajiban.

Itulah bukti rahmat Allah swt. Setelah itu, kita semuanya, diberi pahala atas kebaikan yang dilakukan, dan hukuman dari segala keburukan. Kenyataan ini, menjadikan kita selalu berada dalam ujian Allah swt.

Perjalan hidup kita yang panjang, penuh peluh dan ujian ini, harusnya tidak merubah skenario perpindahan yang seharusnya kita lewati. Perpindahan dari kondisi yang buruk kepada kondisi yang lebih baik. Perpindahan dari jahiliyah kepada Islam, dari kemaksiatan kepada ketaatan. Kemudian saling berlomba melakukan kebaikan.

Rambu-rambu kehidupan

Agar kita senantiasa tersadar dari apa yang kita telah lakukan didunia ini, Allah swt telah memberikan beberapa rambu-rambunya.

Pertama, rambu itu bernama ta’jilul ‘uqubah (percepatan hukuman). Allah akan memberi hukuman sebagai dampak atau akibat, langsung kepada kita setelah melakukan kesalahan. Inilah salahsatu bentuk kasih sayang Allah swt. Bila diantara melakukan kesalahan, dosa atau kemaksiatan, biasanya Allah memberikan hukuman langsung agar kita sadar dan kembali kepada jalan yang benar. Fudhail bin Iyadh rahimahullah pernah mengatakan, “ Banyak orang mempunyai mata, tapi pandangan hatinya redup. Banyak yang memiliki ketajaman lisan, tapi hatinya tidak bersinar. Kedua, rambu itu bernama laddzatu tha’ah, kenikmatan dan kebahagian yang kita rasakan setelah berbuat ketaatan. Rasakanlah kenikmatan kala kita mampu bersabar menahan syahwat dan meninggalkan maksiat. Allah akan memberi balasan atas kesabaran itu dengan kenikmatan, rasa senang, dan tentram. Tidak saja didunia, tapi juga kebahagiaan di hari akhir.

Rahmat Allah adalah hak setiap kaum beriman. Inilah yang dikatakaan para salafusshalih : “ Kasihan para orang yang lalai, mereka keluar dari dunia, tapi tidak sempat merasakan sesuatu yang paling indah didunia.”

Tabi’in yang lain mengatakan, “ Andai para raja itu tahu kebahagian yang kami miliki, pastilah mereka rebut kebahagiaan itu dengan pedang-pedangnya.”

Allah berfirman ; “ Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka didunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan merugi” ( Qs;Hud;15 )

Dengan demikian seharusnya kita tersadar, ternyata kehidupan ini merupakan saranan untuk menambah kebaikan-kebaikan yang tentunya akan mendapatkan balasan dari Allah swt. Bukannya untuk bersenang-senang atau pun bermaksiat kepadaNya. Dengan momen 1 Muharram ini menjelaskan kepada kita semua, bahwa seharusnya ada dalam diri kita upaya kuat untuk terus melakukan perbaikan diri, tidak ada kenal waktu, usia dan lain sebagainya manakalah Allah masih memberi kesempatan bagi kita untuk merubah jalan hidup ini dengan mengisi kembang-kembang kehidupan dengan Amal sholeh.

Oleh : Dendy Wahyono